Pamflet Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022.
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

Kata Soekarno, beri ia sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia. ‘Pemuda’ yang dimaksud Soekarno tidak memandang gender, dan bisa diyakini atau dipertimbangkan bahwa setidaknya satu dari sepuluh pemuda yang dibutuhkan oleh Soekarno untuk mengguncangkan dunia adalah seorang perempuan. Dalam tulisan ini, tidak akan ada ulasan tentang peran perempuan dalam pembangunan bangsa, penamaman karakter atau kehadiran mereka di kongres-kongres penting berskala internasional. Sudah terlalu usang untuk mengulas itu, tanpa mengulasnya sudah banyak ulasan tentang betapa pentingnya mereka. 

“Lalu, apa yang akan kamu ulas dalam artikel ini?” mungkin beberapa dari pembaca terbesit satu pertanyaan itu.

Jawaban dari pertanyaan itu adalah kita sudah tahu seberapa penting peran perempuan di kehidupan ini, tapi kadangkala kita lupa memerhatikan kesejahteraan mereka. Dan dalam konsep kesejahteraan yang dimaksud ini adalah kesejahteraan psikologis. Yups! Kesejahteraan psikologis atau Psychological well-being

Lalu seperti apa psychological well-being itu?

Menurut Ryff pada jurnal yang ia terbitkan pada 2014 atau delapan tahun lalu, terdapat dua pandangan besar mengenai kesejateraan salah satunya ialah pandangan eundaimonik atau yang kita maksud sebagai psychological well-being. Ryff menilai bahwa bentuk kesejahteraan ini bukan berarti individu terus menerus merasa senang dan tidak merasa efek atau emosi negatif melainkan lebih dari itu, dalam konsep Ryff psychological well-being berarti individu mampu menyadari potensi diri dan mengaktualisasikan dirinya. 

Dan tentu saja, Ryff membuktikan psychological well-being yang ia maksud. Dua tahun setelahnya atau pada 2016, Ryff bersama Ruini melakukan penelitian dan mengungkapkan bahwa terdapat dampak positif psychological well-being terhadap individu, masyarakat dan organisasi. Bagi individu psychological well-being membawa hal positif dari segi kesehatan baik fisik maupun mental. Bahkan seseorang dengan psychological well-being yang tinggi akan dapat memiliki hidup yang lebih lama. Ryff juga menyatakan bahwa keterlibatan dalam masyarakat dapat berupa kegiatan volunteering atau yang bersifat sukarela. Sedangkan dari segi organisasi Zizek, Treven dan Cancer pada 2015 sempat mengungkapkan bahwa psychological well-being meningkatkan kualitas dan kuantitas pekerja. 

Lalu, pernahkah kita memikirkan bagaimana psychological well-being pada perempuan yang single, menikah atau bahkan berperan ganda? Kalau semisal memang pernah, bisakah kamu paparkan bagaimana psychological well-being mereka? Bila tidak, sepertinya patut dipertanyakan, sungguhkah kita memikirkan mereka? Atau tidak sama sekali. 

Untuk membantu pemahaman psychological well-being para pembaca, penulis menyajikan beberapa data terkait itu.

Psychological Well-Being Pada Perempuan Single

Pertama-tama, mari kita bersepakat bahwa perempuan maupun laki-laki yang belum memiliki pasangan adalah single atau lajang. Dan sebisa mungkin tidak menggunakan istilah ‘jomblo’, jangan sampai kita malah adu nasib dalam tulisan ini. Kedua, keputusan melajang, pasti telah dipikirkan dengan matang oleh individu tersebut, dalam hal ini kita khusus ke perempuan.

Keputusan yang telah dipikirkan dengan matang tersebut, diperkuat oleh Laswell bersaudara pada 1987 bahwa perempuan lajang adalah suatu masa yang bersifat temporary atau sementara serta jangka pendek yang dilalui oleh seorang perempuan sebelum menikah, namun tidak menutup kemungkinan juga menjadi pilihan jangka panjang apabila keputusan itu adalah pilihan hidup. 

Sayangnya, keputusan melajang membuat beberapa perempuan tidak merasakan dengan baik psychological well-being mereka. Hal ini senada dengan hasil penelitian Loewenstein pada 2004 dan Wood pada 2007 berdasarkan penelitian mereka diketahui perempuan yang melajang dengan kisaran usia 35-65 tahun merasa tidak bahagia, lebih tertekan, tidak tercukupi, tidak puas, stres, depresi, dan tidak sehat secara emosi dibandingkan dengan perempuan yang berpasangan atau menikah dan memiliki kualitas pernikahan baik, relasi sehat dengan pasangan serta pernikahan yang bahagia.

Penelitian itu, akan mengiris hati kita, dikarenakan pilihan dan keputusan sendiri ternyata mencapai pada konsekuensi dan kemungkinan buruk yang akan diterima dari suatu keputusan yang diambil. Tapi satu hal yang patut kita pahami, tidak setiap individu bahkan mungkin semua individu akan siap dengan perasaaan kesepian, kurangnya relasi intim dengan orang lain, kekhawatiran di hari tua.

Glick dan Lin dalam Papalia serta Gunadi mengulas hal yang hampir serupa dan mencapai suatu pemahaman. Pemahaman mereka ialah perempuan akan mampu menikmati dan menyukai statusnya, sibuk dan aktif serta merasa aman dengan dirinya dikarenakan ia memilih hal tersebut dengan sendiri serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan merasa tidak terasingkan.

Lalu, benarkah perempuan yang melajang pasti mengalami perasaan negatif seperti yang dikatakan oleh penelitian Loewenstein pada 2004 dan Wood pada 2007? Jawabannya adalah tidak. Dalam penelitian Yohana, Hartanti dan Nanik dikatakan bahwa dari 60 subjek penelitian yang mereka lakukan menghasilkan bahwa psychological well-being pada perempuan lajang tidak ditentukan oleh tipe perempuan lajang, tetapi lebih ditentukan oleh kesepian dan dukungan sosial yang dirasakan. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi efektif yang diberikan oleh kesepian dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis perempuan lajang adalah 79.9%, berarti masih terdapat 20.1% variabel lain yang juga berkorelasi terhadap kesejahteraan psikologis perempuan lajang, misalnya usia, pendidikan, dan pekerjaan. Masih dalam penelitian yang sama, para perempuan lajang juga disarankan agar terus membentuk dan menjalin hubungan positif dengan orang lain, berupa keikutsertaan dalam suatu organisasi tertentu, seperti kegiatan sosial, pengembangan diri atau organisasi yang menghasilkan uang berupa pekerjaan.


Psychological Well-Being Pada Perempuan Berpasangan

Meski dinilai sebagai titik kebahagiaan menjalin hubungan pacar bahkan pernikahan tidak dapat menjadi tolok ukur psychological well-being. Dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki, kebahagiaan perempuan dapat menjadi pertanyaan dan bahan diskusi menarik. Hal ini bukan tanpa sebab, dalam konsep patriarki atau pemikiran kuno lainnya, pria dianggap lebih superior dibandingkan perempuan bahkan dari segi psychological well-being.

Tetapi, sungguhkah psychological well-being pada perempuan yang berpasangan sulit untuk ditemukan?

Dalam penelitian Papalia, Olds, dan Feldman pada 2004 menemukan bahwa psychological well-being pada perempuan cenderung menurun setelah menikah. Hal ini diperkuat oleh argumentasi Subiantoro bahwa eksistensi perkawainan dapat membuat perempuat dilekatkan pada laki-laki sehingga dapat membatasi ruang gerak perempuan karena pada waktunya akan tersita untuk suami serta anak, dan berakhir pada ketidakmampuan mengembangkan diri sebagai individu.

Bukti penelitian Papalia dan beberapa peneliti lain serta argumentasi yang disampaikan Subiantoro ada benarnya, dan tentu saja benar, mereka meneliti hingga mempublikasikannya. Sayangnya adalah kondisi tersebut merupakan fenomena usang yang seharusnya dihentikan. Terlepas ia perempuan atau laki-laki, menjaga serta mengurus pasangan serta buah hatinya adalah tanggungjawab bersama.

Maka dari itu, sebuah hasil penelitian menarik dari Lianawati pada 2008 terkait psychological well-being pada perempuan yang menjalin hubungan pernikahan, pada awalnya ia mengasumsikan bahwa kesejahteraan istri akan lebih rendah pada kelompok pasutri yang berbeda sikap peran gendernya. Hal yang menarik adalah kesejahteraan psikologis yang lebih rendah justru tidak ditemukan pada kelompok pasutri yang berbeda sikap peran gendernya sebagaimana asumsi peneliti semula. Dari 240 pasutri yang berpatisipasi dalam penelitian tersebut dinyatakan memiliki psychological well-being yang tinggi.

Masih dalam penelitian yang sama, para perempuan yang sudah menikah disarankan agar dapat mengembangkan sikap peran gender egalitier agar dapat lebih sejahtera secara psikologis karena terbukti bahwa lebih banyak istri dalam hal ini para subjek penelitian mengadopsi sikap peran gender egaliter.


Psychological Well-Being Pada Perempuan Berperan Ganda

Bila sebelumnya kita telah mengulas tentang psychological well-being perempuan dari segi lajang dan menikah, lalu bagaimana dengan perempuan yang memiliki peran ganda? Sebelum mengulas lebih dalam mengenai psychological well-being-nya. Ada baiknya kita mengetahui ‘peran ganda’ yang dimaksud disini apa?

Menurut Shanti peran ganda ganda pada perempuan ialah menjalankan peran ibu rumah tangga sekaligus perempuan yang bekerja. Dalam bahasa kerennya disebutkan oleh Michelle dalam Ciptonigrum dengan istilah dualism cultural dimana terdapat pembagian konsep domestic sphere dan public sphere. Tugas-tugas domestik ialah mencuci, memasak, mengurus keperluang rumah tangga, merawat anak dan lain-lain. Sedangkan tugas publik berkaitan dengan karir yang ia jalani.

Dalam hal ini, Shanti juga telah melakukan beberapa wawancara dengan perempuan berperan ganda, dalam hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa seiring berjalannya waktu perempuan akan dihadapkan dengan beban yang sering kali disebut sebagai beban ganda. Beban ganda yang dimaksud disini adalah apabila perempuan tidak dapat menjalankan peran domestik dengan baik, sebaik apapun peran publik maka ia akan dianggap gagal dan apabila tidak berhasil menyeimbangkan kedua peran tersebut maka perempuan dipandang gagal.

Kemudian, bagaimana terkait psychological well-being para perempuan hebat ini?

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Meriko dan Hadiwirawan dengan metode kualitatif didapati bahwa empat responden atau keseluruhan responden dapat menjalankan peran ganda mereka dan menunjukkan bahwa perempuan yang menikah pada usia di atas 20 tahun akan lebih tinggi psychological well-being-nya dibanding yang menikah di bawah 20 tahun. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa perempuan yang menikah di atas usia 20 tahun juga lebih mampu mengontrol hal negatif menjadi sesuatu yang positif; karena mereka telah mampu mengontrol lingkungan dengan baik, selain itu mereka juga dapat secara efektif memanfaatkan peluang yang ada.

Beberapa kondisi di atas, meski telah dibuktikan secara ilmiah bahwa terdapat psychological well-being yang baik atau tinggi pada para responden atau subjek penelitian, masih tidak menutup kemungkinan banyak perempuan di luar sana yang bertahan dengan psychological well-being yang tidak baik dan bahkan rendah.

Pada hari perempuan internasional ini, bukankah hal yang baik untuk memikirkan hal ini bersama-sama? Konsep melajang yang dinilai tidak menemukan pasangan hidup, meski bisa jadi itu adalah pilihan hidup. Budaya patriarki yang masih tertanam di beberapa kepala, meski telah kita ketahui betapa hebatnya peran perempuan di bumi atau bahkan Sally K. Ride seorang astronot perempuan pertama yang menginjakkan kaki ke luar angkasa. Fenomena peran publik dan domestik yang apabila gagal dijalankan akan mencap si perempuan sebagai kegagalan.

Stigma negatif atau sterotip usang tentang konsep yang membatasi perempuan dalam upaya mengenali potensi dan mengaktualisasikan dirinya harus kita maknai dengan beberapa kata; kuno, busuk, lawas, lusuh, bangsat dan brengsek serta jancuk tentunya.

Mau perempuan atau laki-laki bahkan mereka yang berada di antara keduanya, memiliki hak yang sama untuk mencapai psychological well-being mereka masing-masing. Tugas kita? Membantu, bila tak bisa membantu, diam dan jangan merugikan kesejahteraan orang lain selama itu tidak merugikan kesejahteraanmu.

Oleh Mohamad Rizky Bayu Aditya.


Referensi

Ciptoningrum, P. (2009). Hubungan peran ganda dengan pengembangan karier wanita (Thesis, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat). Retrieved from: http://skpm.ipb.ac.id/karyailmiah/files/journals/1/articles/31/submission/review/31-64-1-RV.pdf

Gunadi, P. (2001). Kehidupan lajang dari perspektif perempuan. Retrieved November 1, 2001, from http://www.telaga.org/transkrip.php?kehidupan_lajang.htm

Laswell, M. & Laswell, T. (1987). Mariage & the family. Belmont, California: Wadworth, Inc.

Lianawati,E.(2008). Kesejahteraan Psikologis Istri Ditinjau Dari Sikap Peran Gender Pada Pasutri Muslim. Jurnal Psikologi. Vol. 2 No. 1

Meriko, C. & Hadiwirawan, 0.(2019). Kesejahteraan Psikologis Perempuan Yang Berperan Ganda. Seurune, Jurnal Psikologi Unsyiah. Vol.2. No. 1

Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2002). Adult development and aging (2nd ed.). New York: McGraw Hill Companies, Inc

Papalia, D., Olds, S.W., and Feldman, R.D. 2004 Human development McGraw-Hill, Inc New York

Shanti, T.I. (2011). Ketika perempuan (harus) memilih untuk tidak bekerja. Dalam Nurachman, N., & Bachtiar, I., Psikologi perempuan: pendekatan kontekstual Indonesia (h.198-224). Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.

Subiantoro, E.B. 2001 “Perempuan dan perkawinan: Sebuah pertaruhan eksistensi diri” Jurnal Perempuan vol 22 pp 7-18.

Yohana, Hartanti, Nanik.(2013). Perbedaan Kesejahteraan Psikologis pada Perempuan Lajang Ditinjau dari Tipe Perempuan Lajang. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Univesitas Surabaya. Vol. 2 No. 1.

Posting Komentar