Sumber: google.com |
Oleh: Andi Mardani
(mahasiswa FPsi UNM angkatan 2016)
Gurat oranye menyembul di langit.
Gemerisik dedaunan yang saling bergesekan. Angin berembus yang memainkan
layangan yang tersangkut di tiang listrik. Suara kendaraan yang sesekali lewat.
Suasana yang begitu dinikmati oleh seorang gadis berkuncir kuda yang sedang
duduk di halte bus itu. Mata tertutup dan juga munculnya senyum simpul dari
wajahnya telah menggambarkan suasana hatinya saat itu. Damai. Sangatlah damai.
Kelopak matanya perlahan terbuka
setelah mendengar langkah kaki menuju ke tempatnya berada, halte bus. Ujung
matanya menangkap seorang pria yang sedang bercucur keringat dan mencoba
mengatur napasnya. Pun kemudian pria itu duduk tiga jengkal dari sang gadis
sembari mengusap peluhnya. Keluhan-keluhan kecil sang pria tertangkap oleh
telinga sang gadis. Gadis itu tak kuasa untuk tidak tersenyum, hanya sebuah
senyum samar. Gadis itu menyukai bagaimana cara sang pria mengatur napasnya,
mengusap keringatnya, mengeluarkan keluhannya, dan semua tindakan kecilnya
dalam lima menit terakhir bersamanya.
Tak sadar akan perbuatannya, sang
gadis tersentak pelan ketika iris cokelatnya beradu dengan iris hitam kelam
sang pria. Gadis itu berkedip sesaat, lalu menundukkan muka, menyembunyikan
semburat merah muda yang menghiasi pipinya. Menggigit bibir bawahnya dan
memainkan batu kecil di dekatnya adalah upayanya untuk menghilangkan
kegugupannya. Dia mulai memainkan jemarinya ketika dia menyadari tatapan pria
itu tak luput untuknya. Dia mencoba merangkai kata per kata demi menghilangkan
rasa canggung dalam dirinya. Embusan napas panjang dikeluarkanya agar rasa
gugupnya juga ikut menguap.
“M-Misi…” ucapnya. Matanya
bergerak gelisah, menatap apapun yang tertangkap olehnya.
Sang pria melemparkan tatapan
penuh tanya. Dahinya agak mengerut. Tatapan matanya beralih ketika indera
pendengarannya mendengar suara bus yang mendekat. Pria itupun berdiri seraya
menyingkirkan debu di celana kainnya. Kepalanya menoleh ke gadis itu sesaat dan
melemparkan senyum kecil.
Gadis itu hanya mampu
mengantarkan kepergian sang pria dengan diam. Matanya tak sedetik pun lepas
dari pria itu, hingga ketika bus yang ditumpangi pria itu sudah tertelan oleh
jalan.
~~~
Sudah belasan kali bumi berotasi
dari hari itu. Siang-malam terus berganti, namun gadis itu belum dapat beranjak
dari peristiwa di halte bus itu. Kejadian yang hanya terjadi sekitar 20 menit
itu mampu menyita waktunya selama berhari-hari. Sepulang sekolah dia terus saja
kembali ke halte itu, ingin melihat sosok yang tak pernah hilang dari
ingatannya. Saat ini, dia tetap juga berada di sini, di halte yang sama dengan
beberapa hari yang lalu. Dengan sebuah buku fiksi sebagai pembunuh
kebosanannya, dia dapat menghabiskan seharian penuh di halte, seperi
kemarin-kemarin, sembari menunggu suatu hal yang terbilang mustahil untuk
terjadi lagi.
Gadis itu belum pernah merasa
sepenasaran ini. Pria itu telah menyita perhatiannya, hanya dalam waktu 20
menit, dan dia tidak ingin terus berkubang dalam rasa penasarannya.
Selembar demi selembar telah dia
lewati. Pikirannya berupaya untuk berkonsentrasi dengan ‘sang pembunuh
kebosanannya’, namun terbersit sosok sang pria dalam benaknya. Dengan helaan
napas, dia pun menghentikan kegiatan membacanya, dan hanya mengamati apa yang dapat
diamati. Layangan yang masih tersangkut, langit dengan tanpa setitik pun awan,
dan juga seekor induk kucing yang sedang menyusui anaknya.
Dengan suasana sedamai itu, suara
sekecil pun dapat menerobos ke telinganya, seperti suara langkah kaki yang samar-samar.
Gadis itu tersentak ketika suara itu semakin mendekat ke arahnya. Kepalanya pun
menoleh dengan semangat. Iris cokelatnya menangkap seorang pria, yang telah dia
temui beberapa hari yang lalu, yang sedang berjalan menuju dirinya. Dia tak
kuasa untuk menahan gejolak yang terasa di dadanya. Dia merapikan bukunya ke
dalam sebuah tas kecil miliknya.
Ketika pria itu telah berada di
sampingnya, dia pun tidak ingin membuang waktu lagi. Hal ini telah ditunggunya
selama berhari-hari. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dengan
segenap keberanian yang dimilikinya, gadis itu mencoba menarik sang pria ke
dalam obrolan.
Sang pria yang awalnya heran,
akhirnya terlarut dalam percakapan sang gadis. Mereka pun bertukar kata tanpa
menyadari waktu, tanpa menyadari bahwa sang senja sudah mulai tampak. Hingga
akhirnya pria itu pun kembali pergi dengan bus yang sama seperti kemarin.
Esok hingga esok harinya lagi,
pertemuan antar keduanya pun bukanlah lagi sebuah peristiwa yang tak disengaja.
Mereka menyepakati janji yang mereka buat dan terus bertemu di halte itu, halte
yang menjadi saksi bisu tentang mereka.
Semakin gadis itu menghabiskan
hari dengan pria itu, semakin dia merasakan gejolak yang tidak dia ketahui.
Perasaan yang hanya kepada pria yang dia temui di halte bus.
Posting Komentar
Posting Komentar