International Labour Organisation (ILO) pada tahun 2011 merilis data spasial mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja. Eropa menduduki statistik tertinggi untuk jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja, sekisar 30-50%. Disusul oleh kawasan Asia Pasifik sebanyak 30-40% karyawan. Khusus di Asia, sebanyak 18% karyawan di Cina dan 16% tenaga kerja, bahkan negara sekonservatif  Arab Saudi turut menyumbang angka pelecehan seksual di tempat kerja.

Laporan Komnas Perempuan dalam catatan tahunan 2017, merilis laporan dalam ranah komunitas yang menjelaskan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja sebanyak 44 kasus sepanjang tahun 2016. Meski demikian, keterangan angka dalam catatan tahunan tersebut masih perlu dipertanyakan secara kritis. Selain karena data BPS tahun 2016 tentang jumlah pekerja perempuan di Indonesia yang menginjak angka 45,5 juta. Aduan mengenai kekerasan tempat kerja juga baru mulai diterima dalam lima tahun terakhir. Hal tersebut menjadi titik penting bagi Komnas Perempuan sebab sebelumnya, aduan yang diterima masih didominasi oleh isu KDRT dan kekerasan dalam pacaran.

Perempuan Mahardika sendiri pernah merilis temuan mengenai jumlah buruh perempuan korban pelecehan, dari 773 ada 56,5 persen buruh perempuan yang pernah mengalami tindak pelecehan. Namun hal tersebut belum meliputi pekerja perempuan dari kalangan pekerja atas. Cosmopolitan di tahun 2015 merilis survei yang menjelaskan bahwa satu dari tiga perempuan dengan rentang usia 18-34 tahun pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Di Indonesia, data akurat soal pelecehan seksual di tempat kerja memang masih sulit dikumpulkan. Ada banyak alasan mengapa para korban tidak mengadukan tindakan pelecehan yang dia alami; malu, takut disudutkan (berangkat dari pengalaman korban sebelumnya yang dia ketahui), sampai takut kehilangan pekerjaan adalah alasan yang paling sering diungkapkan. Simak misalnya pengakuan salah satu petugas kebersihan dalam reportase LPM catatankaki berikut:

“Saat dijumpai tim Caka, Jumat (19/01), Tia (samaran) mengatakan, pelecehan yang dialaminya terjadi pada Selasa pagi hari. Awalnya Amir (samaran) menelpon korban semalam sebelumnya untuk memintanya datang lebih cepat yakni pada pukul 05:30, 90 menit lebih awal dari biasanya. Tia sempat menanyakan permintaan tersebut namun Amir tidak memberitahukan alasannya dan hanya meminta untuk datang lebih cepat.
Sebagai cleaning service baru yang mulai bekerja pada bulan Januari ini, Ia taat akan perintah dari pengawasnya. Keesokan harinya, dengan menggunakan pete-pete, Tia yang datang sekitar pukul 6 pagi diminta oleh Amir untuk masuk ke dalam gudang yang berada di samping gedung IPTEKS Unhas.
Di Gudang tersebut Ia disuruh untuk absen dan membuat kopi. Akan tetapi, saat Tia hendak pergi ke lokasi kerja, Ia ditahan oleh Amir dan tiba-tiba memeluk Tia dari belakang, serta memojokkannya ke tembok. “Na pelukka dari belakang, na paksa ka’ toh, na dorong ke tembok. Sudah itu na putar badanku menghadap ke dia, baru na pegang punyaku (payudara) baru mau na angkat (buka) bajuku”, ucap Tia sembari menangis.
Tia saat itu mengaku kaget dan meronta untuk dilepaskan namun tidak bisa lepas dari genggaman Amir. “Sempatka begini (Ia mempraktekkan dirinya meronta) tapi tidak bisaka karena takkala na pegang miki,” ujarnya. Ia mengatakan, kejadian tersebut menurut perkiraannya berlangsung cukup lama hingga sekitar 10 menit. Ia juga ketakutan karena di ancam untuk dipukuli.
Pelaku baru melepaskan Tia saat Ia berteriak karena cleaning service lain sudah mulai datang. Setelah dilepaskan, Tia diancam akan dipecat oleh Amir jika Ia memberitahukan kejadian itu kepada orang lain. ”Pokoknya jangan sampai ada yang tahu ini kasus!” ujar Tia mencontohkan bentakan Pak Amir padanya.  Saat itu Tia hanya bisa menangis dan pulang ke rumah tantenya. “Saya itu datang disini mauka kerja, untuk hidupi anakku kasihan, bukan dikasi begini,” tambahnya dengan mengeluarkan air mata sambil berujar geram tentang dua orang anaknya yang harus dihidupinya.”
Kasus Tia dalam reportase LPM catatankaki hanyalah satu contoh, di luar sana mungkin saja ada ribuan Tia lain. Arus utama budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia bisa jadi salah satu penyebabnya. Pasalnya, motif psikologis dari sejumlah pelaku pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja sangat kuat dipengaruhi oleh pandangan umum yang berlaku di sekitarnya. Psikolog klinis David Ley dalam laman cnbc mengungkapkan, "Ada isu kuat tentang hak dan kekuasaan yang lepas kontrol lalu mengarah pada situasi di mana pria merasa sangat wajar untuk terlibat dalam perilaku semacam ini." 
Pandangan lain dikemukakan dalam laman cnbc oleh Shawn Burn, Ph.D., seorang profesor psikologi di California Polytechnic State University di San Luis. Dia mengatakan "kadang-kadang, pelecehan seksual digunakan untuk mengintimidasi, melemahkan, terutama wanita yang enggan didominasi secara tradisional." Bagi wanita di bidang seperti militer, teknologi atau politik, dia mengatakan bahwa pria sering melakukan perilaku tidak pantas semacam itu dalam upaya untuk "melindungi wilayah pekerjaan mereka." Burn mengatakan bahwa seringkali perilaku berjalan di luar kendali pemimpin sebuah organisasi sehingga menjadi norma tempat kerja. Burn juga menambahkan bahwa banyak pria dikelilingi oleh budaya yang memang memandang perempuan sebagai benda seksual, dan memperlakukan rekan wanita dengan cara kurang profesional.
Selain itu, posisi yang timpang dalam relasi pelaku-korban juga berhubungan erat dengan motif pelaku. Dalam wawancara dengan USA Today yang dimuat dalam laman brobertsonlaw, Abigail Saguy,  profesor sosiologi dan studi gender di UCLA menjelaskan, "Salah satu alasan mengapa pria  melecehkan wanita, dan terkadang pria lain, adalah perbedaan kekuatan dan sangat banyak (tempat kerja) manajemen atasnya adalah laki-laki, sehingga posisi kekuasaan secara tidak seimbang diduduki oleh laki-laki dan bagian bawahnya diduduki oleh perempuan. "

Psikolog Louise Fitzgerald dan sejumlah rekannya mengidentifikasi dimensi perilaku pelecehan seksual: Pelecehan gender mengacu pada perilaku verbal dan nonverbal yang menyampaikan sikap menghina, bermusuhan, dan merendahkan martabat perempuan seperti mempertanyakan kompetensi perempuan dalam pekerjaan tertentu, menampilkan pornografi , menyebut wanita "jalang," dan membuat isyarat cabul. Perhatian seksual di luar keinginan meliputi komentar sugestif tentang tubuh wanita dan juga kemajuan seksual yang tidak diminta dan tidak dikompresikan.

Lalu bagaimana perusahaan atau siapapun yang berkepentingan seharusnya menyikapi pelecehan seksual di tempat kerja? Sachi Barreiro menulis sebuah artikel berjudul Preventing Sexual Harassment in the Workplace:Learn what sexual harassment is -- and how to prevent it di laman nolo yang menjelaskan pentingnya mengadopsi kebijakan pencegahan pelecehan seksual dalam aturan di tempat kerja. Selain itu menurut Barreiro, setiap karyawan perlu didorong untuk belajar mengenai hak-haknya di tempat kerja termasuk hak mendapatkan lingkungan kerja yang bebas pelecehan seksual. Tentu saja dengan aturan main yang jelas di tempat kerja, ditambah dengan karyawan yang memahami haknya, peran pemegang posisi strategis seperti pihak manajemen juga perlu didesak untuk selalu merespon dengan cepat setiap keluhan terutama soal pelecehan seksual. 

Posting Komentar