Sumber: titiknol.co.id
    Aku tak tau, mengapa malam ini terasa begitu sepi dan dingin, dibanding malam-malam sebelumnya. Mungkin doamu terlambat sampai padaku. Atau mungkin, sebab kau tidak menyebut namaku dalam doamu malam ini.

    Padahal aku sudah mengatakan padamu beribu kali, untuk tidak lupa menyebut namaku sekali saja dalam semalam. Sampai-sampai pernah kucoba menawarimu bayaran jika kau bersedia menyebut namaku dalam doamu. Namun kau hanya tertawa renyah, padahal aku sangat serius mengatakannya. Kebiasaan seorang Zarqan, tak pernah bisa memahami situasi.

    Namun kau jangan khawatir. Aku dapat memastika doaku lebih cepat sampai kepadamu. Sebab namamu muncul berpuluh hingga beratus kali sewaktu aku berdoa tadi. Malah aku yakin, salah satu dari mereka bahkan telah sampai padamu, selepas aku mengucap, Aamiin.

    Aku tak ingin kau merasakan seperti yang kurasa malam ini. Aku tak ingin hatimu lebih membeku lagi dari sedetik yang lalu. Dikarenakan doaku terlambat sampai, menyelimuti malammu. Yang katamu selalu dingin walau doaku telah sampai kepadamu.

•••

  Kau hanya tersenyum kecil ketika kusapa kau pagi ini. Namun ketika Arini mengucapkanmu selamat pagi, kau membalasnya dengan senyum sumringah dan ucapan yang sama. Aku tau mengapa sikapmu dapat berubah dalam sepersekian detik saja. Namun aku mencoba mengabaikannya.

    Aku terus memperhatikanmu. Wajahmu yang terus berubah-ubah. Sewaktu Arini datang, wajahmu terlihat begitu memesona. Namun sewaktu Arini pergi, wajahmu masih saja terlihat memesona bagiku.
    
    Aku yang tak tahan melihat kau seperti itu, lantas bertanya.

    "Zar, kamu kenapa sih? Aneh tau gak," kupasang wajah takut yang ku buat-buat, agar kau mau terbuka tentang apa yang kau rasakan pada Arini.

  Kau hanya menggeleng sembari tersenyum kecil. Seakan semuanya baik-baik saja. Sedangkan tidak ada yang baik-baik dari sikapmu.
    
    Aku tau kamu kenapa, Zarqan. Tanpa kamu bicarapun aku telah tau. Kamu hanya tak ingin membuatku sedih, bahkan setelah aku tau kau sangat mencintai Arini. Kau hanya tak ingin menyakitiku.

    Asal kau tau saja. Saat aku menatap matamu, aku merasakan sakit yang lebih sakit dari sakit yang seharusnya kurasakan. Kau terlihat begitu merana, Zarqan. Kau itu pembohong yang buruk. Dan kau sangat buruk dalam berbohong.

•••

   Sudah hampir sejam aku menunggumu di bawah pohon mangga. Tempat favorit kita. Yang mana saat pohonnya berbuah kau selalu menyuruhku menjadikannya rujak. 

    Hingga beberapa saat kau belum juga muncul. Padahal semalam kau bilang akan datang. Ah, mungkin kau sedang ada urusan mendadak. Aku lebih baik pulang saja. Kata ibu anak gadis dilarang berlama-lama seorang diri dibawah pohon, jadi kuputuskan untuk pulang, membawa kembali kata-kata yang telah kurangkai sedemikian rupa untuk kuutarakan padamu. Mungkin aku harus menulisnya di kertas, agar aku tak melupakannya.

    Namun baru saja aku akan keluar dari area kampus, samar-samar terdengar suaramu dan suara seorang gadis yang jelas kukenali. Aku mencoba mencerna apa yang kau ucapkan.

    Kalimat yang sama seperti kalimat yang aku ucapkan padamu waktu itu.

   "Aku punya perasaan lebih sama kamu, Zar! A-apa kamu juga sama sepertiku?" kuucapkan kalimat itu tanpa menatap matamu. Kalimat yang dapat kupastikan hanya akan kuucapkan sekali seumur hidupku.

  Saat itu kau hanya terdiam. Kulihat tubuhmu tak bergerak sedikitpun. Kau menjadi manekin dihadapanku. Tak bergerak dan tak merespon apapun.

     Kucoba mengangkat wajahku perlahan.

  Sebelum sempat aku menatap matamu. Kau langsung mendekapku. Dekapan yang kuanggap sebagai penolakan termanis yang pernah dirasakan serang gadis pemalu sepertiku. Saat itu kita sama-sama terdiam. Hanya ada rasa hangat. Namun aku yakin betul, di sana hatimu masih sama. Dalam bentuk beku.

    Kuharap jawaban Arini padamu bukan pelukan seperti yang kau lakukan padaku waktu itu. Sehingga kau tak perlu merasakan sakit seperti yang kurasakan, saat di mana harga diri kupertaruhkan dihadapanmu. Dan kau membalasnya dengan membuangnya pada tong sampah berisi kenangan tak berarti. Namun, kau membuangnya secara perlahan, hingga tak menimbulkan bunyi apapun saat kau memasukkannya pada tong sampah. 

    Hingga waktu itu, aku hampir saja mengira kau memberikan kenangan ini bingkai merah muda yang kau letakkan pada nakas di kamarmu, yang akan kau lihat setiap kali kau akan terlelap.

    Ah, sudahlah. Mungkin sekarang aku harus pergi. Mungkin, bukan mungkin lagi. Namun, memang sudah seharusnya aku pergi.

    Tak ada yang dapat ku pertahankan untuk tetap di sini. Sebab di sini, aku hanya akan jadi sekat dari cinta seseorang yang paling kucinta. Di mana, aku berperan sebagai sosok paling jahat. Sosok yang menghalangi kebahagiaanmu.

    Aku ingin berhenti jadi orang jahat, meski aku tak pernah berniat untuk jahat. Namun aku tau, aku diposisikan sebagai jahat di sini. Dan sudah saatnya aku mencari tempat yang baru. Tempat yang tak akan memerankanku sebagai sekat. Sebagai pembuat derita cintamu.

Makassar, 09/05/17
Ditulis oleh Dwi Ridhayanti Amaliah


Posting Komentar