Ilustrasi COVID-19 dan #dirumahaja
Sumber: manado.tribunnews.com
Pada 2 Maret 2020 ditemukan dua kasus pertama Coronavirus Disease (COVID-19) di Indonesia tepatnya di Depok, Jawa Barat. Lalu 12 hari setelahnya, pemerintah Indonesia menyatakan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional. 

Keesokan harinya, Minggu (15/03), Joko Widodo menghimbau masyarakat Indonesia untuk melakukan social distancing atau yang kini disebut physical distancing. Tak hanya itu, pemerintah turut memberikan himbauan kepada para pekerja, sekolah, maupun universitas untuk menerapkan Work From Home (WFH) dan Study From Home (SFH). 

COVID-19 sangat berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama kesehatan. Tidak hanya secara fisik, namun juga secara psikologis. 

Dampak COVID-19
Rahmat Permadi, selaku Psikolog Klinis menjelaskan bahwa dampak psikologis dari COVID-19 adalah mayoritas individu menjadi panik dan melakukan hal-hal yang cukup berlebihan. 

“Ini sebagai respon paling dasar memang. Survival instinct-nya kemudian terpicu akibat dari dampak berita COVID-19 ini," jelasnya. 

Survival instinct (naluri bertahan hidup) atau self-preservation instinct adalah kecenderungan manusia dan hewan berperilaku untuk menghindari cedera dan memaksimalkan peluang untuk dapat bertahan hidup. 

Psikolog yang akrab disapa Mato ini juga memaparkan bahwa kepanikan ini disebabkan oleh kemampuan kognitif masyarakat bagian Timur dunia yang mayoritas belum terlatih untuk menghadapi situasi yang mengancam seperti saat ini. 

“Pada saat ada berita buruk yang melanda kita akan cenderung cepat terprovokasi untuk menjadi panik," tambahnya.

Masyarakat pada bagian Timur dunia, cenderung kurang menggunakan bagian otak yang disebut frontal lobe. Frontal lobe merupakan bagian otak yang berperan untuk menganalisa, kritis, dan mempertimbangkan. Masyarakat lebih dominan menggunakan amigdala dalam menghasilkan respon. Amigdala merupakan bagian otak yang menjadi pusat regulasi emosi. Bagian otak ini juga dimiliki oleh hewan, sehingga dapat disebut sebagai survival instinct (naluri bertahan hidup). 

Mato juga menjelaskan bahwa kemampuan kognitif dapat ditingkatkan dengan cara dilatih secara terus menerus seperti memberikan edukasi diri secara informal ataupun formal dan melatih secondary thoughts (pemikiran sekunder). 

“Apa itu secondary thoughts? Secondary thoughts adalah pikiran yang direvisi," tuturnya saat dihubungi via Whatsapp.

Kemampuan untuk merevisi pikiran menuju secondary thoughts membutuhkan kebiasaan untuk merevisi pikiran dan bahan berupa informasi untuk melakukan revisi. Namun dalam pencarian informasi dilakukan secara bijak bukan secara impulsif.

“Selain sisi kognitif, emosi juga itu perlu bisa kita kelola. Seperti yang saya bilang tadi kita itu secara kolektif masih cenderung sangat emosional," jelasnya.

Agar dapat mengelola emosi kita perlu mengenali emosi terlebih dahulu sebelum mengelolanya. Cara mengenali emosi dengan memberikan waktu untuk berinteraksi dengan diri sendiri, dan mengamati emosi diri sendiri. Setelah mengenali emosi, maka selanjutnya adalah mengelola atau meregulasi emosi.

Pada tahun 1998, seorang psikolog klinis, A. James J. Gross, mengusulkan dua jenis regulasi emosi yakni response-focused emotion regulation dan antecedent-focused emotion regulation. Response-focused emotion regulation adalah suatu bentuk kontrol emosi di mana setelah peristiwa yang memicu respon emosional, individu akan menekan keinginannya untuk bereaksi secara emosional terhadap peristiwa tersebut (disebut expressive suppression). Antecedent-focused emotion regulation adalah suatu bentuk regulasi emosi di mana seseorang dihadapkan dengan situasi emosional yang potensial dan mencoba untuk menilai kembali dengan cara yang dapat mengurangi relevansi emosionalnya.

Dampak Work From Home (WFH)/#dirumahaja
Tidak hanya COVID-19, kebijakan pemerintah mengenai physical distancing, WFH, atau #dirumahaja pun turut memberi dampak bagi kondisi psikologis individu. 

Rahmat Permadi kembali menjelaskan bahwa dampaknya sangat besar terhadap psikologis karena suatu budaya, kebiasaan yang tadinya sering dilakukan kemudian hilang atau berhenti. 

“Jelas stres ada. Tapi tidak hanya dari segi ekonomi tapi dari segi kebiasaan, ritual," tambahnya. 

Manusia merupakan makhluk ritualistik, sehingga ketika secara terpaksa berhenti melakukan suatu ritual yang dilakukan setiap hari maka akan menimbulkan stres. 

“Stres pasti muncul tapi pertanyaannya, apakah stres ini dikelola atau tidak? Stres ini di-convert atau tidak?," tuturnya.

Saat individu tidak mampu mengelola stres maka akan menjadi distress, sedangkan yang mampu mengelola stres ke perilaku adaptif maka akan menjadi eustress. Distress merupakan respon stres yang negatif, melibatkan pengaruh negatif dan reaktivitas fisiologis dan dihasilkan dari ketidaksanggupan akan tututan, kerugian, atau ancaman yang dirasakan. Eustress adalah respon stres yang positif, melibatkan tingkat stimulasi optimal dan dihasilkan dari tugas yang menantang namun dapat dicapai, menyenangkan, dan bermanfaat.

“Bagi orang yang gagal mengelola stres maka akan memunculkan kompulsifitas baru," tambahnya.

Perilaku kompulsifitas yang banyak dilakukan adalah mengecek berita secara berulang, menimbun barang-barang, mencuci tangan, membersihkan secara terus menerus, dan sebagainya.

“Sedangkan orang-orang yang berhasil mengelola emosi mereka, they will convert their stresses into adaptive activity (mereka akan mengubah stressnya menjadi aktifitas yang adaptif)," jelasnya.

Cara mempertahankan kesehatan mental di situasi saat ini
Selain menjaga kesehatan fisik, perlu juga untuk menjaga kesehatan mental kita. Adapun tips yang diberikan oleh Rahmat Permadi, yakni:

  1. Cari subtitusi aktivitas pengganti yang bisa dilakukan di rumah yang menggunakan energi kurang lebih sama dengan kegiatan sebelumnya. 
  2. Mengonsumsi berita secukupnya dan membatasi diri terhadap berita buruk mengenai COVID-19. 
  3. Melatih secondary thoughts yang akan menjauhkan diri dari stigma. 
  4. Memperbaiki gaya hidup dengan cara makan makanan sehat, berolahraga, berhenti merokok, dan berhenti mengonsumsi alkohol. (OA)


Referensi
Wikipedia. (2020). Pandemi Koronavirus di Indonesia. Diakses pada 10 April 2020, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pandemi_koronavirus_di_Indonesia.

American Psychological Association. (2020). Self-preservation Instinct. Diakses pada 10 April 2020, dari https://dictionary.apa.org/self-preservation-instinct.

American Psychological Association. (2020). Response Focused Emotion Regulation. Diakses pada 10 April 2020, dari https://dictionary.apa.org/response-focused-emotion-regulation.

American Psychological Association. (2020). Antecedent Focused Emotion Regulation. Diakses pada 10 April 2020, dari https://dictionary.apa.org/antecedent-focused-emotion-regulation.

American Psychological Association. (2020). Eustress. Diakses pada 10 April 2020, dari https://dictionary.apa.org/eustress.

American Psychological Association. (2020). Disstress. Diakses pada 10 April 2020, dari https://dictionary.apa.org/disstress.

Morewedge, C. K., Giblin, C. E., & Norton, M. I. (2014). The (perceived) meaning of spontaneous thoughts. Journal of Experimental Psychology General, 14(4), 1742-1754. doi: 10.1037/a0036775.

Posting Komentar