Ilustrasi perkuliahan daring
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis
Psikogenesis, Rabu(08/04)-Ujian Tengah Semester (UTS) secara daring mulai diterapkan oleh Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) sejak Maret lalu. Proses UTS secara daring pun dinilai sebagai solusi dikarenakan tidak mampu kuliah tatap muka di tengah pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) yang masih merebak. 

Novita Maulidya Djalal, salah satu Dosen FPsi UNM mengungkapkan bahwa UTS bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian dari hasil belajar mahasiswa. 

"Apabila tidak dievaluasi, maka sulit bagi mahasiswa maupun dosen untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dari proses belajar yang telah kita jalani,” ungkapnya.

Dalam situasi pandemi yang bersifat mendadak ini, Novita juga menambahkan bahwa pembelajaran hingga UTS secara daring merupakan bentuk upaya para dosen agar tetap fokus melindungi masyarakat. 

“Hal ini sebagai bentuk upaya beradaptasi pada tantangan dan kendala yang terjadi di lapangan,” tambahnya.

Disisi lain, Tri Sugiarti yang juga merupakan dosen FPsi UNM ini menjelaskan bahwa UTS yang dilakukan secara daring merupakan kesepakatan dosen pengampu Mata Kuliah (MK). 

“Mid (baca: UTS) mau tidak mau adalah salah satu solusi karena tidak mampu bertemu tatap muka di ruang kelas,” jelasnya.

Selain itu, Novita juga memaparkan bahwa terdapat beberapa dampak positif dengan diberlakukannya UTS secara daring seperti, proses pendidikan formal dapat tetap berjalan, para dosen tetap dapat mengetahui hasil dari proses pembelajaran mahasiswa selama ini, terjadinya recall memory dengan mengulang materi secara mandiri di rumah, serta adanya pemanfaatan teknologi komunikasi sebagai bagian dari proses pembelajaran oleh mahasiswa maupun dosen. 

"Posisi guru atau dosen sulit digantikan oleh teknologi. Namun, teknologi dapat menjadi alternatif solusi saat situasi seperti ini," paparnya.

Senada dengan Novita, Tri yang merupakan salah satu dosen pengampuh MK Kesehatan Mental ini mengaku bahwa dampak positif dari UTS secara daring, yaitu bertambahnya pengetahuan tentang aplikasi penunjang perkuliahan. Bahkan, data terkait waktu mulai hingga selesainya pengerjaan ujian dapat diketahui secara lengkap. 

“Para dosen, termasuk saya bisa memeriksa dengan mudah untuk soal-soal multiple choice (baca: pilihan ganda)," jelas Tri saat dihubungi melalui Whatsapp.

Ada positif, ada pula dampak negatif. Konsekuensi diberlakukannnya UTS secara daring menurut Tri adalah manajemen waktu, ketidakpandaian mengelola penggunaaan data internet, serta mata yang menjadi lebih sering terpapar layar ponsel maupun laptop. 

“Bahkan ada yang baru sadar jika ujian sudah selesai karena dia lupa,” ungkap Tri.

Novita sendiri mengungkapkan bahwa terdapat kemungkinan mahasiwa dapat menyontek saat UTS berlangsung. Menurutnya, jika karakter yang mahasiswa tanamkan adalah mencapai hasil maksimal dengan berbagai upaya meskipun dengan cara menyontek, maka hal itulah yang ia pelajari dalam proses pendidikannya. 

“Artinya, ia mendidik dirinya bahwa melakukan hal curang bisa menjadi solusi dari masalah yang ia hadapi,” ungkapnya.

Tri pun menjelaskan bahwa untuk mentaktisi perilaku menyontek, para dosen sudah berusaha dengan strategi yang bisa diupayakan. Apabila tetap terjadi kecurangan, para dosen sudah mengingatkan bahwa ilmu itu tidak hanya siapa yang jadi lebih tahu, namun jadi lebih baik dan bertanggung jawab.

“Tentunya ilmu ini akan memberikan keberkahan bagi mereka yang punya komitmen," jelasnya.

Tidak hanya itu, Tri pun menjelaskan apabila terdapat mahasiswa yang terlambat menyerahkan dan gagal mengirim jawaban, maka akan ditanyai terlebih dahulu alasannya dan jika alasannya dierima akan dibukakan akses kembali. 

“Ini juga setelah koordinasi dengan dosen pengampuh MK,” jelasnya.

Sama halnya dengan Tri, Novita pun menjelaskan apabila terdapat mahasiswa yang telat submit, maka akan dimintai ketetangan agar menjelaskan mengapa bisa terjadi kejadian tersebut. 

“Setelah mendapatkan permasalahannya, saya tentu saja berdiskusi dengan dosen pengampuh lainnya yang mengajar pada MK yang sama untuk kami ambil keputusannya.”

Novita pun berharap agar keberadaan mahasiswa dapat membawa manfaat ilmu dengan karakter yang ia miliki, terutama bagi kita yang mempelajari ilmu jiwa dan perilaku. 

“Melalui Psikogenesis, liputan ini, saya pribadi, tetap percaya pada mahasiswa bahwa mereka tidak open book (baca: menyontek),” harapnya.

Di akhir wawancara, Tri turut menyampaikan harapannya agar kedepannya terdapat sistem tunggal dalam pengelolaan perkuliahan dan juga agar para mahasiswa dapat menemukan pemecahan masalah atas kekurangan dari kuliah daring ini. 

“Kita hanya bisa berharap dan berusaha sebaik yang kita miliki. Jika kita terlampau menuntut dan tidak bisa berdamai, maka ini akan menjadi beban tersendiri," tutupnya. (BLU)

Posting Komentar