Ilustrasi friendzone
Sumber: google.com
Manusia sebagai makhluk sosial pastinya tak akan bisa lepas dari yang namanya pertemanan. Tak jarang dari sebuah pertemanan, kita mengenal satu sama lain secara mendalam. Lebih jauh lagi, pertemanan yang terjalin erat menjadi sebuah persahabatan. Tetapi, bagaimana bila hal itu menyangkut lawan jenis? Apakah benar itu persahabatan atau ada rasa cinta yang tersirat?

Yang perlu kita ingat kembali, persahabatan tak hanya terjalin sesama jenis saja tetapi dengan lawan jenis juga. Maka sangatlah mungkin terjadi yang namanya ‘sahabat menjadi cinta’ dalam hal ini. Berawal dari kedekatan yang berlangsung secara terus menerus, perasaan ingin berteman kemudian berubah menjadi rasa ingin memiliki. 

Altman dan Taylor pernah menuliskan dalam buku Griffin yang terbit pada 2009 bahwa pada dasarnya seseorang akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang lainnya sejauh kedekatan tersebut mampu melalui proses ikatan hubungan dari komunikasi yang superfisial menuju komunikasi yang lebih intim. Komunikasi intim atau bisa dikatakan sebagai kelekatan menimbulkan hubungan emosional antara individu yang bersahabat.

Lalu apakah bisa dua lawan jenis bersahabat tanpa mengikutsertakan perasaan ingin memiliki didalamnya? Sepertinya cenderung sangat tidak mungkin. Persahabatan yang telah terjalin antara dua lawan jenis telah melalui susah dan senang dalam hubungan tersebut. Maka pastinya dari pengalaman itu akan ada harapan yang timbul, bukan harapan bersahabat lebih lama tetapi harapan memiliki yang kemudian termanifestasi sebagai keinginan memacari sahabatnya.

Dalam penelitian yang dilakukan Brennan dan Shaver dalam jurnal ‘Dimensions of adult attachment, affect regulation, and romantic relationship functioning’ yang diterbitkan pada 1995 menyatakan bahwa individu akan membawa satu gaya keletakan dalam hidup. Gaya inilah yang akan berperan dalam membimbing dan membentuk cara individu berhubungan dengan orang lain.

Namun bukan berarti dari gaya kelekatan yang dikemukakan Brennan dan Shaver akan membuat persahabatan lawan jenis sebagai hubungan yang jelas gaya kelekatannya. Hubungan persahabatan yang telah memiliki rasa ingin memiliki didalamnya tak jarang akan menjadi cerita romantis. Namun tak melulu demikian, sering didapati persahabatan yang romantis malah menciptakan friendzone. Friendzone tercipta dikarenakan kebingungan kedua lawan jenis dalam menentukan hubungan emosional yang mereka jalin bersama.

Chakraberty dalam jurnalnya yang membahas friendzone pada 2015 menjelaskan bahwa friendzone sebagai kondisi dimana seseorang memiliki perasaan romantis atau seksual yang tidak terbalas terhadap temannya. Chakraberty juga menjelaskan bahwa situasi ini tidak diinginkan oleh siapa pun karena ketiadaan dari hubungan romantis dan takut kehilangan bersifat platonis atau tak memiliki. Cinta sepihak dong! Eh! 

Kenapa friendzone dapat terjadi? Hal ini dikarenakan orientasi persahabatan antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan makna secara mendasar. Laki-laki cenderung menjalin persahabatan dengan perempuan dikarenakan kebutuhan seksualitas dalam hubungan mereka. Sedangkan perempuan didasarkan pada teman berbicara dan kasih sayang. Persahabatan sebagai hal yang mendasari kedekatan dua lawan jenis tanpa disadari telah melahirkan cinta. Cinta sebagai investasi kedekatan mereka seiring waktu akan semakin tumbuh dengan semakin dekatnya persahabatan dua lawan jenis.

Sederhananya, laki-laki menjalin persahabatan dengan perempuan dengan tujuan aktivitas bersama. Disisi lain, perempuan lebih mengarah pada pikiran dan perasaan. 

Nicholson dalam Jurnal Chakraberty tahun 2015 menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi munculnya friendzone. Pertama, kurangnya kualitas untuk menjadi menarik secara fisik, percaya diri dan kompeten agar dapat menarik perhatian sahabat lawan jenisnya. Kedua, friendzone juga dapat terjadi karena kurangnya kecocokan antara kedua lawan jenis, kekurangan inilah yang membuat friendzone tercipta satu sama lain. Ketiga, friendzone terjadi hanya pada satu orang yang berkomitmen terhadap hubungan sedangkan yang satunya tidak. 

Dari tiga faktor Nicholson dapat diartikan bahwa apabila suatu persahabatan tak menunjukkan ketertarikan pada fisik dan pembuktian yang kompeten pada suatu hal, maka akan sangat mungkin terjadi friendzone. Ketidakcocokan antara dua lawan jenis dalam menjalin cinta memaksa mereka mengalihkan perasaan mereka pada persahabatan saja, banyaknya hal yang tidak cocok dan ketidakmampuan menerima perbedaan itulah yang menciptakan friendzone. Harapan yang hanya tumbuh pada satu pihak sedangkan pihak satunya tak menunjukan hal yang serupa akan membuat hubungan yang tercipta menjadi friendzone, hal ini dikarenakan yang satu memang hanya ingin bersahabat sedangkan yang lainnya ingin lebih dari sekadar sahabat.

Maka dari itu, dalam menentukan sahabat lawan jenis diperlukan kepekaan nalar dan emosional. Karena tak menutup kemungkinan bahwa bisa saja teman yang selama ini kamu anggap sahabat malah berpikiran bahwa kamu lebih dari sekadar sahabat. Yang awalnya teman curhat, malah berniat dijadikan teman hidup. Dan sahabat yang diam, bukan berarti tak menyukaimu. Sebab kata Fiersa besari “Aku diam, bukan berarti tak memerhatikan.” Bila memang punya rasa, katakan saja, daripada menyesal kemudian ada baiknya menyesal sekarang saja. Bukankah cinta adalah perasaan yang jujur, lalu mengapa tak jujur saja padanya? (BLU) 

Referensi
Besari, Fiersa. (2016). Garis Waktu. Jakarta: Mediakita.

Brennan, K. A., & Shaver, P. R. (1995). Dimensions of adult attachment, affect regulation, and romantic relationship functioning. Journal Personality and Social Psychology Bulletin, 21,267–283. doi: 1177/0146167295213008. 

Griffin, Em. (2009). A First Look at Communication Theory. 7th ed. New York: McGraw-Hill. 

Puja, Chakraberty. (2015). Dangerous liasons the impending discourse of "The Friend Zone". Socrates, 3(3), 33-39.

Posting Komentar