Ilustrasi Stockholm syndrome
Sumber: google.com
Pernahkah kamu mendengar cerita temanmu yang diperlakukan secara kasar oleh pasangannya? Meski diperlakukan secara kasar ia tetap mempertahankan hubungannya. Alasannya, karena ia berpikir bahwa pasangannya akan merubah perilakunya. Bila pernah mendengar atau bahkan pernah mengalami, maka kamu mungkin sedang jatuh ke jurang bernama Stockholm syndrome.

Stockholm syndrome berawal dari sebuah peristiwa perampokan bank pada 1973 di Stockholm, Swedia. Jan-Erik Olsson yang menjadi aktor perampokan menyandera para pegawai bank selama lima hari penuh. Anehnya, ketika para sandera berhasil dibebaskan, mereka diketahui menjalin hubungan positif dengan si perampok selama penyanderaan. Tak sampai disitu, mereka bahkan menolak bersaksi untuk memperkuat gugatan pada Jan-ErikOlsson.

De Fabrique dan tiga peneliti lain dalam buletin "Undertstanding Stockholm Syndrome" yang terbit pada 2007 menjelaskan fenomena ini sebagai suatu ikatan psikologis antara sandera dengan pelaku penyanderaan atau kondisi serupa dimana ada satu individu yang memiliki kekuatan dominan untuk mengintimidasi hidup korbannya. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena ini dapat ditemukan dalam hubungan sosial; keluarga, pertemanan, persahabatan, relasi kerja, ataupun percintaan.

Lebih lanjut, Carver, seorang Psikolog klinis pada tahun 2009 mengemukakan bahwa Stockholm syndrome dapat ditemukan dalam hubungan romantis atau pacaran. Sesuatu yang menakutkan dan menyedihkan bukan? Kamu bertahan dan tetap mencintai seseorang dikarenakan ia menyakitimu. Graham bersama enam kawannya dalam penelitian yang berjudul "A Scale forIdentifying Stockholm Syndrome Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity" pada 1995 menambahkan bahwa terdapat ikatan paradoks (bertentangan) yang menjadi strategi dengan tujuan sebagai coping terhadap kekerasan yang dialami dalam Stockholm Syndrome.
Ikatan paradoks itu kemudian mengubah situasi yang seharusnya negatif menjadi positif. Para sandera atau pihak yang menjadi korban memunculkan sisi baik dari pelaku dengan harapan bahwa  pelaku  akan  merubah  perilakunya. Harapan ini kemudian memproduksi suatu ikatan yang tidak sehat dan menjadi alasan korban "menaruh hati" pada situasi kekerasan tersebut.

Lalu mengapa ikatan yang tidak sehat ini malah membuat korban menjadi tertarik pada pelaku?

Graham, Rawlings dan Rigsby dalam buku "Loving to Survive: Sexual Terror, Men’s Violence, and Women’s Lives" yang terbit pada 1994 mengemukakan  bahwa  Stockholm  syndrome tidak akan terjadi  tanpa adanya distorsi kognitif dalam diri korban. Dari 18 distorsi yang berasosiasi  dengan  sindrom  ini  diantaranya  adalah  menyangkal kekerasan yang dialami, menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang terjadi, dan mencoba merasionalisasikan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Dalam jurnal tersebut, dijelaskan pula bahwa distorsi kognitif yang muncul dalam diri korban disebabkan oleh tarik-menarik antara ketidaksadaran dengan orientasi korban terhadap pelaku kekerasan. Graham dan kawan-kawan pada tahun 1955 juga menjelaskan bahwa distorsi kognitif ini menjadi pemicu akan gairah fisiologis yang disebabkan oleh rasa takut dan diartikan sebagai ketertarikan.

Logikanya, korban yang mengalami kekerasan oleh pasangannya pasti akan memilih mengakhiri hubungan mereka. Namun, lain halnya dengan korban Stockholm syndrome, mereka merasa nyaman bahkan bersedia bertahan dengan kekerasan yang mereka alami. Dengan kesediaan itu, sangatlah wajar mereka memilih bertahan dan melanjutkan hubungan yang sebenarnya adalah penganiayaan berulang kali oleh pasangannya. Lalu mengapa penganiayaan yang disadari oleh korban ini tetap terjadi bahkan berkembang?

Graham dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa terdapat empat kondisi yang membuat Stockholm syndrome mampu berkembang. Pertama, kondisi dimana terdapat ancaman terhadap korban yang akan membahayakan keselamatannya, baik secara fisik maupun psikologis. Kedua, Kondisi yang melibatkan korban mendapatkan ancaman dari pelaku untuk tidak melarikan diri atau mencoba pergi dari pelaku. Ketiga, kondisi yang membuat pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain. Dan yang terakhir, kondisi yang menunjukkan pelaku memiliki kebaikan-kebaikan pada korbannya dalam bentuk apapun. 

Sadar atau tidak sadar, keempat kondisi tersebut menggambarkan suatu realita yang banyak terjadi di sekitar kita. Naifnya, kita menganggap kekerasan dalam pacaran sebagai sebuah konflik wajar. Tak banyak yang menyadari bahwa seseorang sedang menjadi korban dan seseorang lainnya sedang menjadi pelaku kejahatan. Hal ini tentu akan sangat merusak setiap individu yang terlibat dalam hubungan tersebut, entah si korban atau si pelaku.

Tentunya tak mudah untuk melepaskan diri dari Stockholm syndrome. Tetapi tak mudah bukan berarti mustahil. Bila kamu mengenal seseorang yang mengalami sindrom tersebut, bantulah mereka untuk bebas sebelum mereka semakin kesakitan.

Dan bila kamu sendiri yang terjerat Stockholm syndrome, maka ingatlah kata Tere Liye, “Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (BLU)

REFERENSI:

Carver, J.M. (2009). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Diakses pada 23 Juni 2020 dari https://mental-health-matters.com/love-and-stockholm-syndrome-the-mystery-of-loving-an-abuser/

De Fabrique, N.D., Romano, S.J., Vecchi, G.M., & Van Hasselt, V.B. (2007). Understanding Stockholm Syndrome. FBI Law Enforcement Bulletin. 76, 10-15.

Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., & Rigsby, R.K. (1994). Loving to Survive: Sexual Terror, Men’s Violence, and Women’s Lives. New York: New York University Press.

Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K., Latimer, D., Foliano, J., Thompson, A., Hacker, R. (1995). A Scale for Identifying “Stockholm Syndrome” Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity. Violence and Victims, 10, 1, 3-22

TereLiye.(2014). Rindu. Jakarta Selatan: Republika.

Posting Komentar