Ilustrasi Opini "Perlu Eradikasi atau Lestari? Budaya Bugis terhadap Praktik Pernikahan Dini"
Sumber: http://Batam.Tribunnews.com

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, suku, dan adat istiadat. Budaya dan norma yang berlaku di suatu daerah cenderung mengadopsi nilai-nilai yang sama dan berbeda dengan daerah lainnya tergantung dari konstruksi sosial yang berlangsung selama bertahun-tahun di daerah tersebut. Budaya dan adat istiadat seringkali didorong untuk terus dilestarikan sebagai sebuah nilai kehidupan yang tak lepas dari masyarakat Indonesia. 

Salah satu suku yang kaya akan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakatnya adalah Suku Bugis. Dari beberapa elemen yang membangun masyarakat Bugis, pernikahan menjadi elemen penting yang tak terlepaskan dari budaya Bugis. Kendati demikian, tradisi pernikahan tersebut kemudian tidak lepas dari isu yang muncul dari tradisi itu sendiri yaitu pernikahan dini.

Perlu diketahui, pernikahan dini yang dimaksud di sini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, merupakan pernikahan yang terjadi pada anak yang berusia di bawah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sejatinya, prosesi pernikahan di kalangan masyarakat Bugis dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan sarat akan makna. 

Masyarakat adat memandang prosesi pernikahan sebagai sesuatu yang dilakukan dengan tujuan untuk membina, memelihara, dan membangun hubungan kekeluargaan yang rukun serta damai. Hal ini didasarkan atas nilai-nilai kehidupan yang menyangkut kehormatan kerabat serta keluarga yang turut serta dalam pergaulan masyarakat. 

Oleh karena itu, tata tertib adat hadir sebagai acuan dalam prosesi pernikahan, agar dapat terhindar dari pelanggaran dan penyimpangan yang memalukan (mappakasiri'), yang nantinya akan menurunkan martabat dan kehormatan keluarga (Raden, Fariska, dan Mariana, 2021).

Namun, praktik pernikahan dini di masyarakat Bugis kerap menjadi mencolok dalam beberapa tahun terakhir. 

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) jumlah kasus permintaan rekomendasi nikah pada tahun 2022, mencapai 50 kasus yang tercatat (UPTD PPA, 2022). Sebagian besar masyarakat di Sulawesi Selatan percaya bahwa semakin cepat perempuan menikah maka semakin baik dari segi ekonomi dan keuangan serta kehormatan keluarga. Namun, bila mereka telat menikah atau bahkan belum menikah, masyarakat menyebut mereka dengan sebutan "kemakmuran dan keberuntungan mereka tertutup dan terlambat" yang artinya dapat mempermalukan kehormatan keluarga (Raden, Fariska, dan Mariana, 2021).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kasjim (2016) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat Bugis untuk melakukan praktik pernikahan dini, antara lain:

1. Menjaga nilai kehormatan keluarga (siri')

Masyarakat Bugis menjadikan pernikahan dini sebagai salah satu opsi solusi untuk menghindari buruknya nama keluarga. Mereka beranggapan bahwa bagi perempuan untuk berhubungan lebih jauh dengan laki-laki maka akan berisiko terjadinya perilaku menyimpang, sehingga jika kedua belah pihak menyanggupi maka pernikahan akan dilakukan demi menjaga nama baik keluarga.

2. Gengsi keluarga dan kekerabatan. 

Pernikahan dini sering terjadi ketika seorang anak perempuan dilamar oleh laki-laki yang lebih tinggi secara ekonomi, stratifikasi sosial, agama atau hubungan kekerabatan dekat. Sulit untuk menolak pertunangan tersebut sementara pada saat yang sama keluarga mempelai merasa bangga dan hormat atas berkat itu. Keluarga ekonomi rendah cenderung menikahkan anak perempuannya untuk meringankan tanggung jawab ekonomi, tetapi dalam kebanyakan kasus mereka menikahkan anak perempuannya dengan seseorang yang memiliki kesamaan marga untuk mempererat hubungan kekerabatan mereka. Menolak pertunangan dari keluarga dekat merupakan siri' dan seringkali orang tua menikahkan mereka tanpa persetujuan putrinya.

3. Orangtua yang kurang berpendidikan. 

Orang tua yang kurang berpendidikan lebih cenderung menikahkan anak mereka karena mereka sangat pragmatis. Mereka memiliki cara berpikir tradisional dan patriarki bahwa peran perempuan adalah sebagai pembantu rumah tangga. Tanggung jawab perempuan adalah membesarkan anak, merawat keluarga, memasak dan mengurus rumah. Menurut mereka, untuk menjalankan tanggung jawab tersebut tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi, sehingga terjadi perkawinan anak jika seseorang menikahkan anak perempuannya.

Dampak dari praktik pernikahan dini adalah negatif bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang menikah pada usia yang sangat muda memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kesehatan dan kematian saat melahirkan. Mereka juga memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengejar pendidikan dan karier yang mereka inginkan. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan gender dan kemiskinan yang lebih besar di masyarakat Bugis.

Selain itu, pernikahan dini juga dapat mempengaruhi hubungan interpersonal antara suami dan istri. Banyak pasangan yang menikah pada usia yang sangat muda tidak siap untuk menghadapi tantangan dan tanggung jawab pernikahan. Ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan dan meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga.

Pada akhirnya, praktik pernikahan dini yang terjadi di masyarakat Bugis memiliki dampak negatif yang signifikan bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Penting bagi masyarakat Bugis untuk mempertimbangkan kembali nilai-nilai dan tradisi mereka terkait pernikahan, dan untuk mempromosikan pendidikan dan kesetaraan gender untuk mengurangi praktik pernikahan dini. Dengan demikian, masyarakat Bugis dapat memperkuat kehidupan sosial dan ekonomi mereka secara keseluruhan.

(Essam Sulaiman Sappe Abdulwahid Muhammad)


Daftar Pustaka:

Hanum, Y., & Tukiman, T. (2015). Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan alat reproduksi wanita. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, 13(2).


Maudina, L. D. (2019). Dampak pernikahan dini bagi perempuan. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 15(2), 89-95.


Raden, A. N. F. A., Fariska, A. F., & Mariana, M. (2021). Peralihan Cara Pandang Masyarakat Terhadap Praktik Pernikahan Dini. ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, 15, 47-62.


Salenda, K. (2016). Abuse of Islamic law and child marriage in south-Sulawesi Indonesia. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, 54(1), 95-121.


Syalis, E. R., & Nurwati, N. N. (2020). Analisis Dampak Pernikahan Dini Terhadap Psikologis Remaja. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 3(1), 29-39.


UPTD PPA. (2022). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kota Makassar. Makassar.

Posting Komentar