Ilustrasi Psikologika "Relationship Cycling: Putus-Nyambung Mulu!".
Sumber: Pinterest

Yang pernah menjalin kisah cinta dengan atau tanpa status, ayo angkat tangannya! EH! Tapi kita nggak bahas tentang itu sih. Diubah pertanyaannya, “Yang pernah melihat putus-nyambungnya suatu hubungan? Ayo ngaku!” Kenapa harus ngaku? Karena mungkin apa yang kamu rasakan saat melihat putus-nyambungnya suatu hubungan akan sama dengan yang kamu baca disini.

"Ada yang pacaran nih! Tapi kok tiba-tiba marahan. Eh udah putus aja! Loh kok malah balikan sih?!"  

Kalian sadar nggak? Kalau kalimat di atas sering terlintas di benak kita ketika melihat hubungan yang "putus-nyambung". Entah sama persis atau tidak, tetapi kita pasti pernah berpikir demikian. Tapi tau, nggak? Kalau ada istilah "keren" untuk fenomena putus nyambung ini, yaitu Relationship-cycling

Relationship-cycling sendiri merupakan istilah yang dikemukakan oleh Monk, Ogolsky, dan Oswald, peneliti dari University of Missouri. Mereka menjelaskan bahwa Relationship-cycling fenomena ketika pasangan yang memutuskan hubungan kemudian kembali bersama. Dalam penelitian yang berjudul "Coming Out and Getting Back In: Relationship Cycling and Distress in Same‐and Different‐Sex Relationships" mereka juga mengatakan bahwa semakin sering Relationship-cycling terjadi maka akan semakin berdampak pada peningkatan gejala psikologis berupa depresi dan kecemasan, loh! 

Semakin lama seseorang berada dalam  hubungan tersebut, semakin besar pula kemungkinan ia mengalami depresi dan kecemasan. Anehnya, ia telah bertahan lama dengan begitu baik dalam hubungan yang bisa disebut sebagai lingkaran setan. Dan selamat! Ia tidak sendiri, banyak kok yang terjebak dalam hubungan putus-nyambung ini. 

Entah ini Fun Fact atau fakta menyedihkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Dailey, Pfiester dan Beck pada 2011 dengan judul penelitian "On-again/off-again dating relationships: What keeps partners coming back?" mereka menemukan fakta mengejutkan. Dari keseluruhan partisipan penelitian mereka, 60% diantaranya mengaku pernah mengalami Relationship-cycling.  Bahkan dari 60% partisipan tersebut terdapat 40% partisipan yang bahkan mengalami Relationship-cycling lebih dari satu kali. 

Dailey dan kawan-kawannya menyimpulkan bahwa jumlah responden yang mengalami Relationship-cycling lebih banyak dirasakan oleh remaja serta dewasa muda. Mereka menilai hal ini tejadi dikarenakan partisipan pada tahap perkembangan tersebut memiliki tugas utama untuk belajar membentuk menjaga dan mengakhiri hubungan dengan baik. Menurut mereka, hal ini tidak terjadi pada usia dewasa yang lebih tinggi dikarenakan individu akan lebih berfokus pada mencari atau membutuhkan pasangan untuk jangka panjang. 

Seseorang yang menjalani Relationship-cycling seakan dihadapkan dengan dua kenyataan; pasangannya memiliki suatu kelebihan yang sangat disukai, namun di saat bersamaan ada kekurangan yang sangat tidak disukai. Kelebihan yang sangat disukai bisa berupa sikap menemani ke mana-mana, menghadiahkan sesuatu, mengelus kepala, dan bentuk perhatian lainnya. Sedangkan kekurangannya, mungkin tidak bisa dipercaya. Tukang selingkuh? Mungkin! 

Rumit, ya? Ketika ingin mengakhiri hubungan namun malah kembali pada hubungan itu lagi, lagi, dan lagi. Seperti memiliki ketergantungan satu sama lain, meski telah disakiti dan dikecewakan berulang kali, seseorang yang terjebak Relationship-cycling akan selalu memberikan kesempatan dimaafkan satu kali lebih banyak dari pada jumlah kesalahan yang telah dilakukan. 

Kisriyati pada 2012 bahkan pernah menyatakan bahwa ketergantungan terjadi bisa berupa materi maupun non-materi. Kebiasaan seperti memberikan hadiah, membayarkan makanan, mengajak jalan, dan lainnya menjadi sesuatu yang sulit dilepaskan dalam hubungan ini. Kisriyati pun menjelaskan dalam hubungan ini, perempuan cenderung pasrah terhadap perlakuan buruk yang diterima. Ramadita pada 2012 juga menambahkan bahwa ketakutan dalam memutuskan hubungan dengan pasangan dikarenakan adanya ketidaknyamanan, kecemasan serta ketakutan yang dirasakannya. 

Hal yang dijelaskan oleh Kisriyati dan Ramadita telah dijawab oleh Monk dan kawan-kawannya sebelumnya. Gejala depresi dan kecemasan yang kemungkinan meningkat terjadi perlu ditindaki dengan tegas. Mereka menyarankan bagi para pasangan yang terjebak dalam relationship-cycling untuk mampu mengambil langkah maupun sikap tegas untuk meninggalkan hubungan tersebut demi kebaikan keduanya. 

Bagi mereka yang terjebak relationship-cycling semoga segera menemukan jalan keluar dari lingkaran setan tersebut. Kalau ada temanmu yang dalam lingkaran tersebut, bantulah dia tapi jangan paksa dia keluar. Nanti jadinya kamu merusak hubungan, PHO dong! 

Dan kamu yang sedang terjebak dalam relationship-cycling coba jawab pertanyaan ini; "Kamu lelah dengan situasi yang entah akan berlangsung berapa banyak lagi? Ketika balikan apa yang kamu pikirkan? Menyadari kesalahan masing-masing dan masih saling mencintai, bukan? Kalau tahu begitu, lalu mengapa harus putus ketika bertengkar?" 

Kamu seharusnya menyadari bahwa ‘putus’ bukanlah satu kata yang sederhana untuk dilakukan. Hubunganmu bukan permainan, yang ketika bosan kamu akan mencari mainan baru. Jadi tolong ya, jangan jadikan hubungan yang bisa So Sweet menjadi So Shit

Tapi bukan berarti balikan sama mantan itu hal yang 100% keliru atau salah. Balikan sama mantan itu ibarat baca buku yang sama sebanyak dua kali. Kalo belum paham isi bukunya, kita bakal "sama saja" di akhir cerita. Tapi kalau udah paham isi bukunya, mungkin kita dapat memahami buku tersebut. Giving someone a second chance doesn't mean someone will get another chance either. (BLU) 


Sumber:

Dailey, R. M., Jin, B., Pfiester, A., & Beck, G. (2011). On-again/off-again dating relationships: What keeps partners coming back?. The Journal of social psychology, 151(4), 417-440. 

Kisriyati. 2012. Makna Hubungan Seksual Dalam Pacaran Bagi Remaja Di Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Surabaya 

Monk, J. K., Ogolsky, B. G., & Oswald, R. F. (2018). Coming out and getting back in: Relationship cycling and distress in same‐and different‐sex relationships. Family Relations, 67(4), 523-538. 

Ramadita, Marsha. 2012. “Hubungan Antara Kecemasan Dengan Acceptance Of Dating Violence Pada Diri Perempuan Dewasa Muda Korban Kekerasan Dalam Pacaran Di Jakarta “. Fakultas Piskologi. Universitas Bina Nusantara

Posting Komentar