Ilustrasi Sastra "Gula dan Antariksa".
Sumber: Pinterest

Ucapan di bulan dua belas, seringkali aku berpikir diri ini tidak pantas.

Melewati hari-hari tak berwarna membayangkan seseorang datang melukis monokrom jiwa.

Yah, intuisiku seharusnya kupercaya.

Bukan, bukan intuisi lagi. Logika, cara berpikir yang jelas nampak keliru, terbawa candu oleh peran yang semu.

Tapi sungguh, aku tak pernah menyesalimu.

Aku tau sesungguhnya cara pandang kita berbeda, mungkin aku melihatmu sebagai jagat raya dan aku astronot yang berkelana di bawah naungannya, mencari arti dari beda yang kita bawa.

Namun, kamu mungkin hanya melihatku secuil gula batu di teh seduh kehidupanmu, hanya secuil pemanis yang kamu aduk tanpa ragu.

Selama ini seharusnya aku menyadarinya, bukan semesta yang mencoba memutar menarikku dengan gravitasi untuk berkelana. Tapi teh yang diaduk terus menerus berharap gulanya larut agar tuntas sudah tugasnya.

"Kalau begitu, sudahi saja."

Iya, menyerah saja, biarkan aku melarut dalam teh kehidupanmu, walau tak akan lagi nampak, namun rasaku akan terus tercetak dalam adukan tehmu. 


-Sulfur

Posting Komentar