Perkuliahan Daring Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.
Sumber: Dok. Pribadi

Psikogenesis, Sabtu (25/11) – Mahasiswa Baru Angkatan 2023 Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) mengungkapkan berbagai keresahan terkait proses perkuliahan Pendidikan Pancasila.

Harga Buku yang Melonjak

K, selaku Mahasiswa Baru Angkatan 2023 FPsi UNM mengonfirmasi bahwa adanya perbedaan harga buku di tiap kelas. 

“Iya, benar. Karena saya bertanya ke teman yang beda kelas ternyata mereka mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan kelas saya,” konfirmasinya.

Hadyan selaku dosen Mata Kuliah Pendidikan Pancasila menanggapi pernyataan terkait harga buku yang berbeda.

“Harga buku yang ini (baca: buku yang lebih mahal) terbilang tinggi dari penerbit-penerbit yang lain. Terkait dengan harga, kami tidak mengetahui data valid berapa kisaran harga buku itu. Itu kan hak prioritas penerbit itu,” tanggapnya.

Alamsyah selaku distributor penerbit buku acuan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila turut menanggapi perbedaan harga buku tersebut.

“Karena stok buku yang 80 ribu itu sudah saya habiskan semua. Di penerbitan itu, saat buku dicetak ulang, ada modal kerja biaya yang dinaikkan lagi, jadi harga bukunya juga naik jadi 100 ribu. Jadi buku yang 80 ribu itu adalah stok yang lama sebelum dicetak ulang,” tanggapnya.

Urgensi Membeli Buku Acuan

AZ selaku Mahasiswa Baru Angkatan FPsi UNM mengungkapkan pendapatnya perihal urgensi buku acuan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.

“Rumor yang beredar entah benar atau tidak bahwa yang membeli buku akan mendapatkan nilai tambahan, mudah-mudahan ini tidak benar, tapi jika benar, maka saya mempertanyakan, ‘dosen pancasila kok gak pancasilais?’ Karena ini akan menjadi diskriminatif bagi mahasiswa yang mungkin tidak mampu membeli buku itu,” ungkapnya.

Menurut Hadyan, membeli buku referensi sifatnya tidak wajib. Ia memberikan kebebasan kepada mahasiswa ingin memegang buku referensi atau tidak.

“Buku referensi itu sifatnya tidak wajib, menurut saya. Saya tidak pernah mengintervensi mahasiswa apalagi mewajibkan mahasiswa untuk memegang buku referensi itu. Silakan yang mau ambil (baca: beli) boleh, yang tidak mau ambil juga tidak apa-apa. Itu hak nya mahasiswa itu,” tuturnya.

Jadwal Perkuliahan yang Tidak Jelas

Dikarenakan jadwal perkuliahan yang tidak jelas, K menganggap bahwa perkuliahan ini tidak efektif jika dipindahkan ke jam malam karena menyita waktu istirahat mahasiswa.

“Menurut saya pribadi, perkuliahan ini sangat tidak efektif, seperti jumlah mahasiswanya yang mencapai 130-an orang, dosennya juga kadang tidak jelas, memindahkan jadwal kuliah seenaknya saja, kalau mau dibilang dipindahkan dengan persetujuan mahasiswa, bagaimana mahasiswa mau menolak. Dikarenakan sayang juga UKT kalau kita tidak masuk kuliah walaupun dari jam 8 malam sampai setengah 10 malam. Siapa mau perhatikan kalau sudah capek mi kuliah dari pagi sampai sore, terus lanjut lagi kuliah pada jam istirahat,” tanggapnya.

Hadyan mengklarifikasi keluhan terkait perpindahan jadwal perkuliahan yang tidak jelas.

“Saya memindahkan jam pertemuan, karena ada beberapa kegiatan dan saya juga menjadi bagian dari kepanitiaan. Perpindahan jadwal ini juga sesuai kesepakatan ji dari mahasiswa,” jelasnya.

Sikap Dosen yang Patriarki dan Misoginis

K mengungkapkan keresahannya mengenai sikap dosen selama proses perkuliahan yang bersifat patriarki dan misoginis.

“Untuk saya pribadi, lebih kurang suka dengan sifat dosennya yang patriarki dan misoginis banget,  kenapa saya bilang seperti itu, karena ia menggunakan kata kata yang saya sangat tidak suka. Bukan hanya saya, tetapi teman-teman saya juga,” ungkapnya.

K berharap agar dosen terkait diganti dengan dosen yang mampu menyesuaikan sistem perkuliahan secara daring, mengikuti jadwal perkuliahan yang sudah ditentukan, lebih menghargai waktu, dan lebih menjaga perkataannya.

“Harapan ku ke depannya, dosennya bisa diganti saja, mungkin beliau kurang bisa menyesuaikan dengan zaman sekarang. Seperti proses perkuliahan, beliau inginnya offline terus. Saya juga berharap dosennya lebih bisa mengikuti jadwal yang telah ditentukan sebelumnya, lebih menghargai waktu istirahat, dan mungkin bisa lebih menjaga perkataannya,” harapnya.

Sebagai penutup, AZ juga menuturkan harapannya agar proses perkuliahan menjadi lebih efektif.

“Harapannya, proses belajar jadi lebih efektif ke depannya. Mungkin ketidakefektivitasannya itu dikarenakan terlalu banyak kelas yang diajar dan ke depannya lebih efisien jika kelas yang diajar cukup satu atau dua kelas saja,” tutupnya. (001)

Posting Komentar