Ilustrasi Psikologika "Saksi dalam Bullying: Silent, Fear, and Guilty".
Sumber: google.com

Bullying merupakan ancaman untuk mewujudkan pendidikan berkualitas di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2018, 3 dari 4 anak dan remaja pernah mengalami bullying. Fenomena bullying tidak terbatas pada dunia pendidikan, fenomena ini pun terjadi pada dunia kerja. Bahkan anda yang sedang membaca tulisan ini mungkin pernah mengalami atau menyaksikan fenomena bullying.

Setiap bullying ada tiga pihak yang terlibat, yaitu korban, pelaku, dan saksi. Saksi dalam bullying selalu menjadi pihak yang terlupakan, setiap artikel di internet kerap kali membahas pelaku dan korban bullying, padahal pihak saksi adalah bagian yang tidak kalah penting dari pelaku dan korban.

Menjadi saksi dalam bullying bukanlah situasi yang mengenakkan. Menyaksikan bullying memiliki dampak psikologis pada saksi. Terjadi dilema saat menyaksikan bullying, rasa keinginan untuk melibatkan diri dan takut muncul bersamaan, sehingga saksi sulit menentukan fight or flight?

Dalam pandangan Psikoanalisis yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud, perilaku manusia dipengaruhi oleh konflik internal antara komponen kepribadian, yaitu id (nafsu), ego (keseimbangan), dan superego (moralitas). Seseorang yang menyaksikan bullying akan mengalami konflik antara dorongan id-nya untuk melibatkan diri dalam situasi untuk mendapatkan kepuasan pribadi dan ketakutan superego terhadap potensi konsekuensi moral atau sosial yang merugikan. Ego, sebagai perantara, dapat merasa kesulitan memutuskan tindakan yang tepat.

Dalam perspektif lain, perasaan yang muncul bersamaan tersebut menimbulkan yang dikenal dengan approach-avoidance conflict. Fenomena ini terjadi saat keinginan yang tulus untuk membantu suatu situasi, tetapi keinginan yang sama kuatnya untuk menghindari situasi tersebut. Saat berbicara tentang bullying, seseorang dapat merasa bersalah karena tidak membantu, namun terlalu takut untuk membantu pada saat yang sama. Mereka bagaikan ditarik ke dua arah sekaligus. Terkadang dorongan untuk membantu lebih kuat dan menang. Terkadang ketakutan akan konsekuensi lebih tinggi. Hasilnya adalah keragu-raguan, yang mengarah pada perasaan di luar kendali dan menghasilkan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi bagi orang yang melihatnya.

Adapula alasan psikologis lain kenapa saksi tidak melakukan apa-apa saat melihat bullying, yaitu bystander effect. Bystander effect terjadi ketika sekelompok orang menyaksikan insiden bullying dan tidak ada respon. Saat hanya ada satu saksi yang menyaksikan, orang tersebut kemungkinan akan membantu korban. Namun, saat sekelompok orang menjadi saksinya, tidak ada satu orang pun yang merasa bertanggung jawab untuk mengambil tindakan. Jadi sebagai kelompok, mereka cenderung tidak melangkah maju dan membantu korban.

Menurut John Darley dan Bibb Latane, orang yang pertama kali meneliti fenomena ini pada tahun 1970, Individu memberikan respon yang lambat karena terjadi pembagiaan tanggung jawab, ketika hal ini terjadi pada saksi akan timbul perasaan tanggung jawab untuk melakukan sesuatu dibagikan kepada kelompok, sehingga memperlambat respon mereka atau tidak merespon sama sekali.

Selain itu, saksi mungkin lambat merespons karena mereka memantau orang lain dalam kelompok untuk reaksi mereka. Mereka mencoba untuk menentukan apakah situasinya cukup parah untuk melakukan sesuatu dan mereka akan mengawasi untuk melihat apakah orang lain akan melangkah maju. Terkadang ketika tidak ada yang melangkah maju, para pengamat merasa dibenarkan untuk tidak melakukan apa-apa. 

Pagett dan Notar (2013) mengungkapkan, setelah menyaksikan bullying, banyak saksi yang dibanjiri perasaan bersalah. Bukan hanya rasa bersalah dengan bullying yang telah dialami oleh korban, tetapi juga dihantui perasaan bersalah karena tidak mencegah hal tersebut. Saksi ini juga dapat merasa bersalah karena tidak tahu cara bersikap ketika melihat bullying atau takut untuk terlibat dengan perilaku tersebut. Lebih lanjut, rasa bersalah ini bisa bertahan di pikiran bahkan setelah perilaku bullying berakhir. Inilah alasan kenapa saksi bisa mendapatkan dampak yang sama yang dialami korban bullying.

Lebih lanjut, sifat seseorang yang menyaksikan bullying biasanya akan menghindar, seolah-olah tidak melihat apa-apa. Perilaku menghindar ini disebabkan rasa cemas saksi jika ia akan menjadi korban selanjutnya. Saat muncul rasa cemas tersebut pada saksi, ia akan mencari berbagai cara untuk terhindar menjadi korban bullying atau kekerasan selanjutnya. Menarik diri agar tidak terlibat adalah salah satu cara agar tidak menjadi korban selanjutnya.

Melihat seseorang menderita atau disakiti bukanlah sesuatu yang mudah. Sangat sulit untuk menetukan langkah apa yang sebaiknya dilakukan. Jika kamu menyaksikan bullying di sekolah, kantor, atau di manapun kamu berada, kamu harus melaporkannya. Dengan melaporkannya, perilaku bullying dapat dikurangi. Melaporkannya memang bukanlah hal mudah. Namun, kalau kamu tidak melaporkannya bullying ini akan terus terjadi dan masyarakat tidak akan tahu separah apa penyakit telah melekat di tubuh bangsa ini. Stop Bullying, mulailah dari diri sendiri. (TFR)

Referensi:

Latane B, Darley JM. The unresponsive bystander: Why doesn't he help?. New York: Appleton-Century Crofts; 1970.

Padgett S, Notar CE. Bystanders are the key to stopping bullying. Univ J Educ Res. 2013;1(2):33-41. doi:10.13189/ujer.2013.010201

Pouwelse M, Mulder R, Mikkelsen EG. The role of bystanders in workplace bullying: An overview of theories and empirical research. In: D'Cruz P. et al., eds., Pathways of Job-related Negative Behaviour. Handbooks of Workplace Bullying, Emotional Abuse and Harassment, vol 2. Singapore; Springer; 2018. doi:10.1007/978-981-10-6173-8_14-1

Sollod, R. N., & Monte, C. F. (2008). Beneath the mask: An introduction to theories of personality. John Wiley & Sons.

Sprigg CA, Niven K, Dawson J, Farley S, Armitage CJ. Witnessing workplace bullying and employee well-being: A two-wave field study. J Occup Health Psychol. 2019;24(2):286–296. doi:10.1037/ocp0000137

Yulianto, A., & Paranti, S. M. (2014). Hubungan Antara Rasa Aman Di Sekolah Dan Respons Bystander Dalam Situasi Bullying Pada Siswa SLTA. Universitas Indonesia. Jakarta.

http://www.bullyingstatistics.org/content/bullying-and-suicide.html

Posting Komentar