Sumber: Dok. Pribadi Milik Laode Irfan H
Kaderisasi adalah elemen penting dalam dinamika kehidupan kampus. Dalam menjaga keberlangsungan dan eksistensi lembaga kemahasiswaan, menyiapkan generasi penerus menjadi permasalahan krusial oleh perangkat lembaga kemahasiswaan. Menelisik substansi dasar dari kaderisasi di lingkup Kema F.Psi UNM yang tertuang jelas dalam Pembukaan AD-ART. Disana dipaparkan eksplisit bahwa :

“setiap potensi yang dimiliki mahasiswa F.Psi UNM dimaknai sebagai aset yang wajib dieksplor, dikembangkan kemudian diaktualisasikan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, pendidikan, hukum dan politik sebagai upaya membentuk karakter mahasiswa yang sadar akan eksistensinya sebagai Agent of Change, Social of Control dan Moral Force

Cita-cita ini yang kemudian menjadi pondasi utama dalam membangun kader dengan berbagai macam metode, pola sistemik, aturan, intervensi bahkan doktrinasi oleh penyelenggara atau perangkat Kema F. Psi UNM. Dalam pencapaiannya, hal substansial di atas kemudian turun sebagai UU Pendidikan Kema. Setelah itu menjadi acuan dalam pembuatan program-program kaderisasi yang menjadikan mahasiswa baru sebagai sasaran utama. Lagi, mahasiswa baru dianggap sebagai generasi yang diharapkan tidak hanya menginternalisasi cita-cita di atas, tapi juga kedepannya mampu mengatasi atau setidaknya mengadvokasi problem masyarakat atas nama ‘mahasiswa’ Psikologi UNM.

Perangkat Kema sendiri yakni BEM dan Maperwa Kema F. Psi UNM dalam 3 tahun belakangan selalu melakukan pembenahan berdasarkan evaluasi per program pendidikan. Hasil evaluasi itu kemudian dijadikan referensi dalam pembuatan aturan baru yang sebagai upaya pembenahan dan pembaharuan metode agar bisa diterapkan pada kaderisasi berikutnya. Namun masalahnya adalah kendatipun tiap tahun sudah dilakukan evaluasi dan pembenahan muatan dalam konstitusi, kader yang dihasilkan 3 tahun belakangan ini hampir selalu mempunyai masalah yang sama. Jika kuantitas keikutsertaan kader dalam lembaga kemahasiswaan dianggap sebagai representasi keberhasilan dalam mengukur muatan kaderisasi (khususnya menumbuhkan kesadaran berorganisasi), faktanya hanya sebagian kecil dari keseluruhan peserta kaderisasi yang kemudian tercatat sebagai pengurus lembaga di tingkat fakultas.

Atau taruhlah keikutsertaan kader dalam gerakan-gerakan sosial (demonstrasi maupun kegiatan sosial lainnya) dianggap sebagai keberhasilan dalam menanamkan kepekaan sosial, faktanya tiap aksi penolakan UKT atau reklamasi Makassar yang terlibat bisa dihitung jari. Program sesederhana yang dijalankan Kementerian Pengabdian Masyarakat semisal “bagi-bagi makanan” yang notabene-nya tak punya tendensi politik, malah dianggap lebih berefek (ketimbang demonstrasi jalanan) oleh banyak orang dewasa ini, toh dalam penyelenggaraan programnya juga tak pernah lebih dari 20 orang (dari 70an perangkat Kema dan 500an mahasiswa aktif). Jangan lagi tanya soal “kepanitian” sebagai wadah kader dalam membangun mentalitas kerja, semangat kerja sama, penanaman nilai dan tanggung jawab serta aktualisasi diri. Menyoal kepanitiaan kegiatan ini, masalah tiap tahun selalu sama, sepi peminat, dan melibatkan orang yang sama di banyak event yang berbeda.

Belajar dari komunitas

Soal komunitas ini, lembaga perlu banyak-banyak belajar. Eksistensi komunitas-komunitas belakangan ini hampir menyamai lembaga-lembaga di psikologi UNM. Bukan soal administratif, tapi cara komunitas menggaet anggota-anggotanya serta rutinitas kegiatan yang boleh dibilang jauh lebih menarik daripada apa yang sejauh ini ditawarkan lembaga kemahasiswaan. Buktinya kuantitas anggota di beberapa komunitas semakin kesini semakin bertambah. Kita malah sering menemukan fungsionaris lembaga juga turut serta dalam kegiatan-kegiatan komunitas. Bahkan beberapa fungsionaris lebih betah memakai atribut komunitas, padahal sedang dalam waktu kerja di lembaga masing-masing. Entah komunitas memang lebih menarik ataukah lembaga yang ada di lingkungan Kema F.Psi UNM sudah kekurangan hal-hal yang kiranya bisa dibanggakan, selain mentalitas dan idealisme (yang kini masih perlu dipertanyakan ada atau tidaknya dalam diri tiap kader).

Fenomena di atas kiranya bisa menjadi referensi khusus bagi perangkat Kema agar bisa membuat formulasi kaderisasi yang bisa semenarik yang ditawarkan oleh komunitas-komunitas tertentu. Untuk selanjutnya objek kaderisasi dalam hal ini mahasiswa baru lebih tertarik berekspresi dan mengabdikan diri di lembaga kemahasiswaan.

Selain Fungsionaris

Fenomena berikutnya adalah gersangnya lingkaran-lingkaran diskusi dan kajian di lingkungan Kema F.Psi UNM. Fenomena ini menjadi penting dikarenakan diskusi dan kajian tentang isu kontemporer maupun keilmuan psikologi merupakan hal yang berkaitan langsung dengan eksistensi dan perwujudan nilai-nilai kemahasiswaan bagi masyarakat. Selain pengaderan dasar di bawah tanggung jawab Kemendiklat BEM, harus ada bentukan follow up atau kegiatan lain sebagai penguat dari apa yang telah diserap dalam pengaderan dasar. Kegiatan tersebut seyogyanya melibatkan setiap elemen kemahasiswaan.

Tugas kajian dan diskusi sebenarnya dalam mekanisme lembaga telah menjadi ranah kerja Kementerian Sosial Politik BEM Kema F.Psi UNM. Namun mengingat kompleksnya permasalahan sosial dan politik di masyarakat, sedangkan komposisi dalam Kementerian sospol BEM sangat terbatas. Maka seyogyanya masyarakat Kema F.Psi UNM yang punya kompetensi dan wawasan lebih pada isu tertentu harus bisa menempatkan diri sebagai mitra kerja lembaga. Mahasiswa diluar fungsionaris atau kader yang telah menempuh pendidikan LK2 dan program-program advokasi lainnya perlu terlibat dan dilibatkan sebagai mitra kerja lembaga dalam upaya pengkajian isu-isu sosial. Mengingat jumlah kader dengan kriteria di atas sudah cukup banyak di kampus Psikologi UNM. Maka tidak ada alasan untuk tidak melibatkan mereka sebagai bagian dari upaya kaderisasi tersebut. Selain bisa mempermudah tugas-tugas kaderisasi di sektor sosial politik, hal ini juga sekalian dijadikan wadah sosialisasi mahasiswa baru dengan orang-orang diluar BEM. Toh selama ini intensitas sosialisasi mahasiswa baru cenderung terbatas pada lembaga eksekutif saja.

Dengan melibatkan elemen mahasiswa lain selain fungsionaris lembaga secara aktif dan terkontrol, akan memudahkan bahkan malah mengefektifkan program-program kaderisasi. Sejarah kelembagaan kita juga pernah mencatat hidupnya budaya diskusi dan kajian-kajian isu kontemporer beberapa tahun lalu. Meski tak se-intens di fakultas lain namun budaya tersebut adalah langkah positif dan punya dampak nyata terhadap kemajuan cara berpikir dan wawasan baik perangkat lembaga maupun mahasiswa lain tak terkecuali mahasiswa baru. Budaya seperti inilah yang perlu kita hidupkan kembali, dimana lembaga merangkul dan melibatkan mahasiswa diluar fungsionaris secara aktif dan di bawah kordinasi BEM, demi terwujudnya tujuan-tujuan kaderisasi seperti yang telah dibahas di atas.

Masih banyak celah dalam sistem kaderisasi kita yang jika dibahas secara mendetail maka akan memakan waktu yang panjang. Sembari evaluasi terus dilakukan oleh semua perangkat kelembagaan yang berwenang, diharapkan semua elemen turut berkontribusi positif. Kontribusi tersebut mesti disalurkan dalam ide dan kerja-kerja nyata di bawah naungan sistem KEMA F.Psi UNM dengan acuan utama tetaplah konstitusi demi terwujudnya kualitas kader yang lebih baik dari hari ini.

Makassar, 24 sept 2016

Laode Irfan Herdiansyah