Proses berpikir kritis adalah hal yang tak terpisahkan dari diri Mahasiswa. Satu hal yang membedakan seorang mahasiswa dengan orang yang bukan mahasiswa adalah keberlimpahan waktu yang dimilikinya untuk terus belajar. Syahdan, upaya untuk mewaraskan diri dengan terus belajar dan menempa diri adalah perihal yang mutlak harus dilakukan oleh seorang mahasiswa, tak terkecuali oleh mahasiswa baru (maba).

Proses belajar yang pertama kali dilakukan mahasiswa baru adalah belajar untuk mengidentifikasi status dan peran sosialnya sebagai mahasiswa. Tentu saja ada perbedaan tajam antara menjadi siswa dan menjadi siswa yang menanggung gelar maha. Ia dituntut untuk bisa mengamalkan tri darma perguruan tinggi dengan khusyuk.

Proses identifikasi status dan peran sosial dalam kampus dapat disederhanakan dengan kata adaptasi. Menurut hemat saya, langkah bijak untuk memulainya adalah dengan menerapkan sebuah peribahasa lama “di mana bumi dipijak, di situ  langit dijunjung”. Peribahasa ini menurut saya punya makna filosofis yang dalam. Ia tak hanya menunjukkan sikap konformis membabi buta terhadap suatu tradisi, budaya, atau kebiasaan satu kelompok masyarakat. Tetapi lebih dari itu, menunjukkan kebesaran dan kearifan seseorang untuk menghargai, dan terlebih menunjukkan kerendahhatian akan nilai-nilai luhur yang dianut ataupun di praktikkan oleh masyarakat tertentu.

Kaitannya dengan proses adaptasi maba, khusunya maba Fakultas Psikologi UNM, ada beberapa hal-yang disebut proses pengaderan-yang diterapkan BEM Kema FPsi UNM kepada maba. Salah satunya adalah dengan menerapkan penggunaan Jas almamater sebagai seragam maba.

Peraturan terkait penggunaan jas almamater kemudian menghasilkan sikap penolakan, yang belakangan menyita perhatian masyarakat psikologi tak terkecuali alumni. Sikap penolakan penggunaan jas almamater oleh maba ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melepaskan jas almamater di kelas dan area kampus, tidak memakainya sama sekali, bahkan merilis infografis berisi penolakan terhadap aturan jas almamater yang kontennya cukup membuat beberapa senior dan alumni tersakiti hatinya.

Konten yang saya maksud dalam infografis tersebut adalah gambar monyet dan ajakan untuk berpikir kritis terhadap kebiasaan. Entah mengapa, salah satu isi konten penolakan dalam infografis tersebut diilustrasikan dengan gambar monyet yang sedang memegang mulutnya. Saya tidak mengerti alasan pemilihan gambar monyet untuk mengilustrasikan salah satu poin argumennya. Bunyinya seperti ini “apakah kamu tidak malu dengan citra yang selama ini dibangun oleh segelintir orang yang tidak berpikir akan kebiasaannya?” lantas kemudian diakhiri dengan elegan menggunakan kata “THINK AGAIN” (Capslock dari infografis).

Tradisi dan Upaya Berpikir Kritis

Satu hal yang secara pribadi saya apresiasi dan kagumi dari upaya memprotes aturan penggunaan jas alamamater adalah mentalitas dan keberanian mengkritik kawan-kawan maba yang terbilang militan, berbeda jauh dengan sikap penolakan yang dilakukan angkatan-angkatan sebelumnya. Tentu saja polemik terkait penggunaan jas almamater ini bukanlah hal yang baru terjadi hari ini, setidaknya di masa saya menjadi maba (2015) juga ada riak-riak penolakan terhadap aturan tersebut. Saya sendiri, saat maba juga ikut menolak dengan meneriakkan protes penolakan hanya saja cuman di dalam hati, ada juga beberapa teman yang cukup punya nyali untuk bertanya kepada senior. Tetapi protes ini ditunjukkan dengan sikap santun dan dilakukan dengan cara berdiskusi dengan para senior. Berbeda dengan yang dilakukan oleh mahasiswa baru, yang menujukkan sikap konfrontatif dan jelas-untuk beberapa orang-menghindari ruang diskusi.

Secara pribadi, saya menolak alasan penggunaan jas almamater sebagai tradisi ataupun budaya. Karena tradisi dan budaya tidak secara otomatis menjadikan suatu kebiasaan benar dan tak mungkin salah, tidak semua tradisi mempunyai nilai luhur. Bermodalkan gawai dan koneksi internet, saya bisa menunjukkan tradisi-tradisi berbahaya yang sama sekali tak memiliki keluruhan dan cenderung bertentangan dengan norma masyarakat.

Poinnya adalah tidak berarti sebuah tradisi harus ditelan mentah-mentah begitu saja oleh satu generasi hanya karena ia diturunkan dari generasi sebelumnya. Itulah mengapa dalam pembuka di atas saya mengatakan bahwa upaya untuk berpikir kritis adalah hal yang mutlak untuk dilakukan oleh mahasiswa. Karena mengkritik suatu tradisi atau budaya dalam suatu masyarakat juga bukanlah hal yang haram untuk dilakukan. Sayangnya, laku kritis ini seringkali dimanifestasikan dengan cara yang bisa dibilang kurang pas, misalnya saja pada kasus infografis tersebut. Berbekal pengalaman telah berbincang dengan salah satu kawan maba yang getol menolak aturan penggunaan jas almamater ini, saya tidak menangkap adanya pengetahuan yang mendalam akan alasan aturan ini. Padahal langkah awal untuk mengkritisi sesuatu adalah dengan mengetahuinya terlebih dahulu. Aturan penggunaan jas almamater ini tidak hadir dan pada akhirnya menjadi tradisi tanpa ada nilai-nilai yang mendasarinya. Ada banyak makna dan esensi yang bisa didapatkan dari penggunaan jas almamater, saran saya untuk mahasiswa baru, jangan menutup diri dan sering-seringlah berdiskusi dengan kakak-kakaknya.

Terakhir, menurut saya sangat penting, ialah upaya teman-teman untuk mengkritisi peraturan ini patut untuk diapresiasi dan tidak sepatutnya untuk dibungkam. Nalar kritis mereka- sebagai mahasiswa- yang baru saja akan merekah bisa saja layu hanya karena kita menutup telinga dan ruang diskusi dengan mereka. Untuk maba, melakukan kritik dan mencari cara agar kritik terlihat elegan dan bernas adalah dua hal yang harusnya tak dipisahkan. Selain itu, ada banyak hal yang juga tak kalah urgent untuk dikritisi oleh maba selain proses-proses pengaderan yang diterapkan oleh BEM misalnya, apakah mereka mendapatkan transparansi terkait UKT 8,5 juta yang mereka bayarkan, atau apakah teman mereka, maba 2017 yang berkuliah di Parepare yang juga membayar 8,5 juta sudah mendapatkan fasilitas yang sesuai seperti yang ia dapatkan disini. Dan sebagainya dan sebagainya…
Wahyu Setiawan

Opini Tabloid Edisi XVI, November 2017

Posting Komentar