Dongeng ini untuk nenek, karena bahagia itu sederhana dan kenangan tentang nenek salah satunya. Sedang ketangguhan, adalah kesabaran yang diajarkan nenek dalam lagu pengantar tidurnya.

Pada suatu masa di sebuah negeri hiduplah seorang Raja, dia begitu bijak dan dicintai rakyatnya. Dalam masanya, kerajaan amatlah jaya, tak pernah ia biarkan orang-orang kelaparan di dalam kerajannya. Semua orang hidup cukup dan bersyukur untuknya. Konon, sang raja belajar kebijaksanaan dari sebuah ajaran etnik lama yang di masa sekarang sudah tak ada. Tapi,  dibalik semua kisah jayanya, sang raja punya sebuah masalah, dia tak pernah tidur.

“Sebenarnya, aku adalah salah satu pewaris garis keturunan terakhir dari etnis yang punah karena sebuah perang besar,” ujar sang Raja pada suatu perjamuan di Istana Kerajaan tetangga. Lalu sang raja melanjutkan “Sewaktu aku masih di ayunan, nenek ku sering menyanyikan lagu pengantar tidur dalam sebuah bahasa yang tak kupahami. Ah, menceritakannya membuatku teringat kepada nenek. Aku belajar begitu banyak kebijaksanaan darinya, sebab pesan terakhir darinya jugalah sampai sekarang aku belum menikah,”. Tiba-tiba salah seorang pangeran yang hadir dalam perjamuan, memotong cerita sang raja. “Maaf paduka! Kalau boleh hamba tahu, apa kiranya pesan nenek paduka?,” sang raja sejenak diam. Ingatannya seketika berkelana pada waktu yang jauh dan begitu lampau di masa kanak-kanaknya.

Meski sekarang adalah raja, dulunya dia sebatang kara begitu lama. Sejak balita orang tuanya telah tiada karena sebuah perang yang membumi hanguskan seluruh Negeri. Sang nenek berhasil membawanya pergi tepat beberapa waktu sebelum perang pecah. Hanya sang nenek satu-satunya perempuan sebagai keluarga yang ia kenal dan ia punya, maka tak mengherankan bila kenangannya hanya tentang nenek saja. Dalam pelariannya, sang raja dan Neneknya tinggal di sebuah rumah berbentuk panggung tinggi yang puncak bangunnya seperti perahu, warisan sang kakek yang mati dalam perang juga. Seluruh garis keturunan sang raja memang etnis pejuang, dalam ajaran yang dipegang teguh garis keturunannya. “Barulah berhenti usaha ketika mati, bila dalam rantauan tak boleh kembali,”. Posisinya sebagai raja didapatkannya berkat ajaran yang dipertahankannya dari garis keturunan sebelumnya.

Di kenangan terjauhnya, sang raja menyaksikan dirinya kala dalam buaian sebuah kain sarung yang dipancang di sela-sela penyangga tiang rumah. Neneknya ada di luar ayunan, duduk di atas dipan bamboo sembari bernyanyi lagu yang tak pernah bosan didengarkan sang cucu, selalu berhasil menidurkan, dan meredakan tangis sang cucu. Entah karena suara parau bijaksana yang didapatkan dari usia, ataukah pada pesan dalam lirik dan pilihan notasi yang menggetarkan nurani yang menjadi kekuatan dari lagu yang sang nenek nyanyikan.

Sang raja pulang ke Negerinya membawa kenangan, juga meninggalkan seorang pangeran negeri tetangga yang kesal karena diabaikan. Pertanyaan sang pangeran tak diindahkan, sebab janji yang tiba-tiba teringat dalam perjamuan. Ada urusan yang harus segera dituntaskan, demi pusara sang nenek dan seluruh keluarga yang mati dalam perang. Terlepas dari semua janji yang belum ditepatinya, sang raja masih punya satu masalah. Dalam sepuluh tahun hidupnya setelah kepergian sang nenek, sang raja belum kunjung tidur.

Keesokan hari atas saran dari penasehat kerajaan, rakyat dikumpulkan di alun-alun kerajaan untuk mendengarkan sayembara sang raja. “Barangsiapa mampu, membuat sang raja terlelap oleh nyanyian bila perempuan akan dijadikan ratu, bila pemuda akan dijadikan pewaris tahta”. Setelah membacakan sayembara, penasehat menutup gulungan titah lalu melangkah masuk kembali ke Istana. Meninggalkan seluruh rakyat yang tenggelam dalam pikiran sama. “Apa gerangan yang dipikirkan sang raja?”. Rupanya banyak yang tak tahu, dari semua kebijaksanaan dan sahaja yang tampak, sang raja tak pernah tidur.

Di atas singgasana sang raja termenung, memikirkan pesan terakhir sang nenek. “Garis keturunan kita belum punah, nyanyian pengantar tidurmu adalah nyanyian yang diwariskan hanya kepada perempuan yang sedarah. Carilah wanita yang pandai menyanyikan dan mampu mengajarkan makna lagunya. Nikahi dia untuk memulai kembali garis keturunan kita,” itu beberapa patah kalimat dari sang nenek menjelang mautnya.

Belum habis perenungan sang raja, belum juga bagi waktu sayembara bahkan sebelum ada satupun yang mengikutinya. Sang raja secara samar mendengar nyanyian yang ia kenali sebagai kenangan termahal. Kenangan yang seharga dengan tidur sepuluh tahunnya. Suara itu ia kenali dan ia cari, kemudian ia dapati ketika melintasi dapur kerajaan. Pemiliknya adalah wanita di bawah usianya, menyanyikannya sembari membiarkan seorang bayi terlelap di pundaknya. Berputarlah seluruh kenangannya, tumpah air matanya, kantuknya yang lama ia lupa seketika datang membuainya. Tanpa sadar lisannya menumpahkan kata-kata dalam bahasa yang tak pernah dipahaminya, tak pernah sempat diajarkan neneknya hingga maut tiba.
Ininnawa Sabbarae,
Ininnawa Sabbarae
Lolongeng Gare Deceng,
Alla Tosabbara’ ede
Alla Tosabbara’ ede

Duhai hati yang diliputi kesabaran
Duhai hati yang diliputi kesabaran
Kelakkan mendapat berkah
Untuk mereka yang bersabar
Mereka yang bersabar

Pitutaunna’ Sabbara
Pitutaunna’ Sabbara
Tengnginakkullolongen
Alla Riasengnge Deceng
Alla Riasengnge Deceng

Tujuh tahunku bersabar
Tujuh tahunku bersabar
Tak kunjung jua kudapati
Oh… apa yang disebut kemulian
Oh… apa yang disebut kemulian

Sabbara’ko Musukkuru
Sabbara’ko Musukkuru
Mugalungto kalolang
Alla Muallongi Longi
Alla Muallongi Longi

Bersabar dan bersyukurlah
Bersabar dan bersyukurlah
Berikhtiar di segala pintu rejeki
Bahagia sentosa akhirnya
Bahagia sentosa akhirnya

Mallongilongio Matti
Mallongilongio Matti
Aja’ Mutakkalupa
Alla Ri Puang Seuwwa’e
Alla Ri Puang Seuwwa’e

Kelakeng kau bahagia sentosa
Kelakeng kau bahagia sentosa
Janganlah lupa
Pada Tuhan Yang Maha Kuasa
Pada Tuhan Yang Maha Kuasa

Sabbara’ko Mumapata
Sabbara’ko Mumapata
Muattunrungtunru Toto
Alla Sappai Deceng’nge
Alla Sappai Deceng’nge

Sabar dan tegarlah engkau
Sabar dan tegarlah engkau
Jalani Qada dan Qadarmu
Mencari pahala dunia akhirat
Mencari pahala dunia akhirat

Deceng Enreko Ri Bola
Deceng Enreko Ri Bola
Tejjali’ Tettappere
Alla Banna Mase Mase
Alla Banna Mase Mase

Duhai sukacita, mari-marilah kemari
Mari-marilah kemari, duhai sukacita
Di rumahku yang bersahaja
Dengan hati yang lapang
Dengan hati yang lapang

Lalu di penghujung lagu, sang raja jatuh lelap di lantai Istana. Melupakan tugasnya menikahi wanita yang bernyanyi untuknya. Begitu lama ia tertidur, membayar seluruh hutang dalam terjaga selama sepuluh tahun hidupnya. Dan menikahinya beberapa tahun setelah terbangun dari tidur panjangnya.

Nenek lalu menutup buku cerita, mengabaikanku yang ingin bertanya banyak soal dongeng yang barusan ia ceritakan. Tapi, kantukku datang tiba-tiba, setelah nenek kembali menyanyikan lagu yang sama dalam dongeng yang ia ceritakan. Hari ini aku mengalah, lalu terlelap dan mimpi indah.

Penulis: Muh. Shany Kasysyaf

Posting Komentar