Belum genap dua bulan perkuliahan berjalan di kampus Psikologi Universitas Negeri Makassar. Harmoni masih dalam proses terbentuk maka jangan dulu terlalu berharap akan mendapati pagi yang tenang, cerah ceria di kampus. Lihat saja antrian mahasiswa di loket-loket percetakan yang sesekali rusuh karena ada si fulan yang memaksa untuk lebih dulu. Masih sering pula dijumpai mahasiswa yang lari-lari masuk kelas karena takut sekali terlambat. Kelas kuliah memang terlalu istimewa untuk dilewatkan begitu saja. Hebatnya, jarang didapati dosen yang buru-buru untuk isi kelas. Dosen hadir lebih dulu, menunggu mahasiswa, lalu memulai kuliah dengan semangat yang menginspirasi, teladan. Harmoni tidak lama lagi akan segera terwujud di kampus ini, entah berupa keteraturan yang menenangkan atau berupa roller coaster kehidupan yang menjadi kebiasaan, yang seru lagi menyenangkan.

Membicarakan tahun ajaran 2017-2018 terasa tidak segar jika tidak melibatkan mahasiswa baru. Anak baru hampir selalu menjadi pusat perhatian di awal tahun. Merekalah angkatan terbaru generasi Z yang kini menjejak kampus jingga UNM. Total 7.062 mahasiswa baru yang diterima dengan rincian 1.480 melalui SNMPTN, 2.456 melalui SBMPTN, dan sebanyak 3.126 mahasiswa baru Jalur Mandiri, sebagaimana informasi dari media kampus Profesi. Dari tujuh ribu itu, kurang lebih 300 orang mendapat jatah diterima di Fakultas Psikologi. Perbanadingan yang cukup kecil memang jika dibandingkan dengan total mahasiswa baru UNM tapi itulah penerimaan terbanyak sepanjang fakultas berdiri.

Perjalanan UNM mengarungi tahun ajaran ini masihlah seumur jagung. Masih segar diingatan orang-orang yang mengingat bagaimana kuota penerimaan mahasiswa baru yang didebat karena dianggap tidak sesuai ketentuan. Mengacu pada undang-undang pendidikan tinggi beserta aturan turunannya, yang kemudian ditegaskan oleh Menristek, dan diulang pula oleh pimpinan kampus, diyakini bahwa mahasiswa jalur mandiri maksimal 30% dari total mahasiswa baru yang diterima. Kenyataannya jumlah mahasiswa baru jalur mandiri diluar perkiraan. Siapa berani melawan?

Persoalan kuota penerimaan mahasiswa baru mungkin sudah usang. Pembicaraan kini bergeser pada pengelolaan UKT. Tapi tak begitu banyak riak di kampus psikologi, tidak cukup ke-psikologi-an barangkali. Sementara perbandingan sarana-prasarana dengan jumlah mahasiswa kejar-kejaran, dimana yang pertama selalu ketinggalan, sementara rekan-rekan di Parepare entah bagaimana nasibnya, sementara ruang-ruang diskusi semakin sulit ditemui, sementara aktivitas organisasi diawasi dan dibatasi, sementara panitia susah dikonfirmasi, sementara pengurus lembaga mesti diminta-minta setengah mati, bahkan peserta acara mesti dicari, rupanya belum cukup menggugah mahasiswa, belum cukup untuk melahirkan gugatan dan inisiasi perubahan. Bisa dipastikan kuliah di sini berjalan sangat lancar, sangat menyenangkan, melenakan.

Aku Membaca, Maka Aku Bertanya
Aku Bertanya, Maka Aku Membaca
Sejarah membuktikan bahwa perubahan peradaban jaman modern selalui dimulai dari aktivitas literasi dan diskusi. Keduanya menjadi modal aksi, modal besar, apapun bentuk aksinya. Jika peradaban saja bisa diubah dengan membangun budaya membaca dan diskusi, urusan kampus kecil sajalah. Maka mahasiswa, yang baru khususnya, kiranya sudi untuk mengisi waktunya dengan aktivitas literasi dan diskusi. Sehingga masalah bersama bisa diretas, sehingga perubahan bisa disegerakan, dan citra kampus bisa kita tingkatkan.

Lembaga kemahasiswaan dan birokrasi harus mendukung aktivitas literasi demi mewujudkan kampus yang berwawasan akademik. Diskusi lepas ala mahasiswa tetap harus diberi ruang walau kuliah kita sesungguhnya berjalan dengan sangat memuaskan. Kenyataannya aktivitas keseharian tidak cukup terjelaskan dalam teori-teori psikologi yang didebat hebat dalam perkuliahan. Kenyataannya ruang kelas bukanlah semesta tempat seluruh kebenaran berkumpul. Tanpa bermaksud mengurangi kemuliaannya, dosen bukanlah pemeran tunggal yang mendedah monolog tentang pencerahan, tentang pencerdasan dan pemanusiaan mahasiswa, dan senior-senior yang biasa unjuk diri itu pun tidak menjamin kesesuaian isi kepala dan perbuatan.

Menjadi Pandai Mengeluh
Awal tahun ajaran baru mesti diisi oleh keluhan. Dosen mengeluh bahwa mahasiswa semakin susah diatur, tidak beretika, kurang menghormati, hampir semuanya kurang. Pimpinan kampus mengeluh karena mahasiswanya sering sekali ikut demo dan kurang sekali yang aktif berprestasi akademik. Pengurus lembaga pun mengeluh karena merasa dibatas dan dihalangi oleh birokrasi, sementara SK dan beasiswa dicari-cari. Hanya mahasiswa biasa saja yang tidak mengeluh, mantap. Padahal mengeluh adalah hal yang wajar. Bahkan mengeluhlah jika memang perlu.

Yang salah kemudian adalah menjadi mahasiswa yang tak pandai mengeluh. Sementara kuliah dijalani dengan megap-megap hampir mati, wirid makian terhadap dosen tak henti2, organisasi mahasiswa disalah2kan dengan keji, pada saat yang sama belasan episode drama dihabisi, nongki2 pun dijalani saban hari, medsos dan game online ditekuni. Tak ada waktu baca buku, tak sudi ikut diskusi, kuliah dan organisasi dijalani tanpa hati, lantas mengeluh. Kalau bukan bedebah entah sebutan apa lagi yang sesuai.

Yang salah kemudian adalah ketika dosen, pengurus lembaga, senior-senior mengkritik etika si kundang junior tetapi pada saat yang bersamaan justru anti-kritik. Tak ada yang berubah, tak ada pengayoman, tak ada pembimbingan, tak ada rangkulan, tak ada pencerahan, tak ada teladan diganti ancaman dan intimidasi. Maka tidak ada sebutan spesial untuk ini, cukup semoga Tuhan mengampuni.

Merajut Asa, Bersama untuk Kampus Tercinta
Kampus ini melenakan. Di sini masih banyak hal baik yang untuk sementara ini cukup dipelihara sebagai mimpi-mimpi. Tidak sedikit pula rupa yang direka-reka biar selamat tentu saja. Satu lagi kemampuan yang harus dimiliki ialah pandai-pandai menyimpan kritik dalam hati. Sayang sekali pendidikan tinggi kita di sini tidak mendidik kita untuk menjadi penerima kritik dengan lapang hati. Seperti ini tertutupi dengan kuliah yang menyenangkan, yang melenakan.

Menambah kesenangan di kampus ini sejumlah hiburan pun ditawarkan. Sebutlah kompetisi tingkat internal hingga internasional yang tak hanya memberi pengalaman dan membesarkan nama tapi juga menambah pundi-pundi materi. Sebut pula keseruan memastikan nama mahasiswa ada dalam daftar penerima beasiswa yang konon menjadi misteri karena tidak pernah dipublikasi. Tak kalah menyenangkan pula aktivitas memenuhi CV dengan sederet penelitian, keorganisasian, dan pertukaran.

Adalah tugas seluruh elemen kampus untuk bersama-sama mewujudkan tri dharma perguruan tinggi. Sangat diperlukan saling pengertian, penerimaan, mungkin diperlukan sejumlah kesepakatan yang melibatkan pimpinan, dosen, staf pegawai, lembaga kemahasiswaan, serta seluruh mahasiswa demi tercapainya tujuan bersama. Tidak sekedar membangun citra kampus yang diukur dengan akreditasi dan ISO melainkan juga benar-benar ada niat tulus dan usahanya nyata untuk mewujudkan kampus yang bernuansa akademis dan religius. Tentu saja usaha peningkatan kualitas juga harus memperhatikan dan menguatkan kembali aspek-aspek kekeluargaan, membangun sikap saling menghormati dan menghargai, yang mencakup tutur kata dan pola pergaulan dalam lingkup kampus.

Kampus kita baru menjalani dua bulan masa aktif perkuliahan, masih ada lebih dari cukup waktu untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Silang pendapat bahkan konfrontasi niscaya tidak akan hilang oleh satu-dua kesepahaman. Justru perbedaan, saling kritik dan keterbukaan menerima saranlah yang memungkinkan kita untuk tumbuh bersama. Kampus kita kini punya anak baru, adik baru, rekan baru, mahasiswa angkatan 2017. Mari sama-sama kita peduli dan menjadi teladan sambil berharap ada dua-tiga kebaikan yang bisa kita wariskan.

Saat ini kita berada di institusi pendidikan paling tinggi. Mari berlaku sepatutnya!

Profil Tabloid Edisi XIV, September

Posting Komentar