Tidak setiap hari keluarga kami makan malam.

Kira-kira dua jam setelah matahari terbenam, tanpa peduli hari kerja atau hari libur seperti jadwal milik pekerja kantoran, Ibu berangkat menuju satu-satunya taman bermain di kota kami. Di sana, Ibu menjual balon-balon aneka bentuk dengan warna-warna beragam, meski Ibu tak sekali pun memakai baju selain kain berwarna hitam, abu-abu, dan biru tua– dengan banyak tambalan tidak rapi karena dikerjakan di ujung malam yang melelahkan. Ibu tak pernah kembali dengan banyak uang, dan lebih sering membawa pulang kantung berisi bahan makanan yang diharapkannya akan habis untuk waktu yang lama.

Malam sebelumnya, kami memiliki sepanci kecil nasi yang agak keras dan tempe goreng yang dipotong sesuai jumlah kami–Ibu, aku, dan seorang adikku. Kalau saja Ayah masih di sini, Ibu akan mengeluarkan ekstra uang untuk kopi dan rokok. Kami bertiga tidak suka minum kopi dan tidak merokok.

Karena makan malam tidak selalu terjadi di rumah kami, maka Ibu bersikeras agar tidak sedikit pun remah yang tersisa. Kami menghabiskan lauk, dan Ibu selalu mengeruk nasi dalam panic kecil dan membagi-bagi kerak nasi tersebut ke piring-piring kami.

Malam ini, kami tidak punya apa-apa untuk disantap. Ibu bilang, hujan turun sepanjang hari sehingga tidak ada anak yang pergi ke taman bermain.

Pagi berikutnya, Ibu jatuh sakit. Nina–adikku–pulang sekolah lebih awal untuk merawat Ibu, sementara aku mengumpulkan tali-tali balon tersebut dalam genggamanku– membawanya ke taman bermain.

Namun, tampaknya, hari ini hujan akan turun lagi. Langit berwarna biru yang terlalu gelap. Aku mengeratkan genggaman pada balon-balon sambil berharap hujan tetap turun hingga malam hari–suara deras hujan adalah satu-satunya hal yang bisa menyamarkan gemerisik bunyi perutku.

Rintik hujan pertama jatuh mengenai ujung sandalku.

Aku baru saja akan beranjak pergi saat melihat seorang gadis kecil berjongkok di sisi luar taman sambil menangis.

Aku menghampirinya dan memberinya balon–satu-satunya benda yang ku miliki. Seketika gadis kecil itu berhenti menangis. Lalu, aku mendengar langkah kaki terburu-buru mendekati kami. Ia seorang pemuda dengan warna mata yang sama dengan milik gadis kecil tersebut–cokelat.
    “Terimakasih sudah menjaga adikku. Aku ceroboh dan meninggalkannya sendiri di sini. Maaf merepotkanmu.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau membawa balon-balon itu kesana kemari?”
“Tidak. Ibuku menjual balon-balon ini di sini setiap hari. Tapi dia sedang sakit, jadi aku menggantikannya.”
“Oh, maafkan aku.” Pemuda itu melihat balon yang dipegang si gadis kecil. “Aku tidak membawa dompet. Aku akan membayarnya besok. Oh ya, namaku Gilang. Kau?”
“Alia.”
Setelah aku menyebutkan namaku, rintik hujan jatuh lebih banyak.

Aku pulang dengan jumlah balon yang berkurang satu buah, dan tanpa sepeser pun uang.

Sejak hari itu, Ibu selalu pulang dengan senyum lebar. Juga kabar bahwa seorang pemuda datang ke taman bermain setiap pagi dan membeli seluruh balon jualannya sebelum hujan turun.
Setiap hari kami makan malam.

***

Aku baru saja menutup telepon saat jam makan malam tiba. Gilang keluar dari kamar dengan berbaju kimono putih dan rambut yang masih setengah basah.
“Siapa yang menelepon? Ibu?”
“Iya. Ibu mengabariku, dia akan datang berkunjung minggu depan. Ibu bahkan sudah punya tiket pesawat.”
“Benarkah? Apa Ibu sudah cukup sehat?”
“Ya. Ibu bilang, dia berjalan kaki keluar rumah setiap pagi untuk membeli bahan makanan, bunga-bunga segar, dan kadang-kadang, balon. Ibu memasak makanannya sendiri dan tidak pernah melanggar pantangan dari dokter.”
Gilang mengangguk-angguk.“Itu bagus. Sekarang, ganti pakaianmu. Kita akan makan malam di luar.”
“Tapi Bibi sudah memasak sangat banyak makanan.”
“Tidak masalah. Dia bisa makan itu dan membuang sisanya.”
Kami makan malam di sebuah restoran baru yang disarankan oleh seorang teman– dengan tulisan “Dilarang Membawa Makanan dari Luar” di pintu masuk.
Begitu tiba di rumah, kami berbaring di tempat tidur dan menonton televise hingga tertidur.
Makanan kami menangis di meja makan.
Namun, aku tidak mendengarnya. Televisi kami menyala sampai besok pagi.

Cerpen karya: Nurinas Dzakiyah Firman

Sastra Tabloid Edisi XVI, November 2017

Posting Komentar