Ilustrasi Psikologika Cancel Culture.
Sumber: Pinterest


Beberapa bulan lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kebebasan Saipul Jamil seorang artis penyanyi dangdut yang terjerat kasus skandal pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. Popularitas Saipul Jamil dulunya sangat mentereng dikalangan ibu-ibu di Indonesia, namun hal ini berubah saat ia diterpa isu pelecehan seksual pada anak yang membuat harus merasakan dinginya jeruji penjara. 

Momen kebebasan dari Saipul Jamil yang diarak masyarakat dan diliput media televisi ternyata mengundang amarah besar bagi netizen karena dianggap tidak menghormati korban pelecehan seksual Saipul Jamil. Bahkan, beberapa program TV seperti Nussa, batal tayang di salah satu kanal televisi karena sang pemilik hak siar mengecam tindakan mereka meliput Saipul Jamil. Bahkan, sejumlah info lain menyatakan jika sejak hal tersebut mencuat di media, berbagai kanal televisi juga ikut untuk tidak menayangkan hal yang berkaitan denga Saipul Jamil. Fenomena yang dimulai dari cercaan di media sosial yang berujung boikot ini biasa disebut cancel culture.

Cancel culture dapat diartikan sebagai bentuk mengalihkan perhatian untuk pelaku yang tindakan, nilai, atau perkataannya menyinggung atau menyerang suatu individu atau kelompok minoritas. Secara mendasar, istilah cancel culture kita pahami sebagai proses untuk “menghapus” seluruh hal yang berkaitan dengan individu dari kehidupan publik.

Individu yang biasanya menjadi target cancel culture, biasanya adalah mereka yang telah melewati batas norma sosial yang diakui masyarakat. Meskipun batas norma sosial ini termasuk aturan tidak tertulis, namun tampaknya hal ini menjadi hal yang cukup penting utamanya di platform media sosial. Target cancel culture, biasanya para politisi, aktor/aktris, atau pihak yang sebelumnya masih dimaklumi secara norma sosial. 

Bentuk dari cancel culture yang terjadi dapat termanifestasi dalam beberapa bentuk yang ditunjukkan masyarakat seperti, memperlakukan secara publik baik secara langsung atau melalui serangan siber, deplatforming atau secara kasus memboikot dengan tidak memberikan panggung untuk muncul kehadapan publik, hingga yang paling parah adalah didorong untuk mundur, pensiun, hingga dipecat. 

Cancel culture memiliki potensi yang sangat besar untuk merusak kehidupan seseorang kapanpun. Hal inilah yang menyebabkan mengapa publik figur yang dianggap menyerang hal yang bersinggunggan dengan etnis, seksual, atau kelompok minoritas kebanyakan menjadi korban cancel culture. Individu yang terkena cancel culture biasanya mereka yang tersandung kasus perundungan, seksisme, rasisme, hingga homophobia. 

Secara psikologis, cancel culture dapat dijelaskan melalui teori Two Step Flow Theory, yang mana penyebaran informasi melalui media sosial dapat mengubah informasi tersebut menjadi sebuat aksi nyata. Konektivitas tanpa batasan ruang dan waktu dari dunia digital juga sangat mendukung dari terbentuknya cancel culture ini. 

Berbagai organisasi sosial pun membuat semacam model komunikasi digital dengan sebutan hashtag activism. Yang dengan bantuan internet, seluruh batas geografi dapat dilampaui dan menjangkau lebih banyak individu yang potensial dalam mendukung dan melakukan cancel culture

Tidak hanya menyasar individu, cancel culture juga dapat saja membuat suatu perusahaan berpikir atau mengevaluasi strategi mereka saat berhadapan masyarakat publik. Perusahaan yang memproduksi barang ataupun jasa dapat mendapat serangan cancel culture berupa boikot produk hingga seluruh bisnis perusahaan. Salah satu contoh terbaru adalah boikot berbagai produk Prancis yang terjadi di Indonesia karena kebijakan pemerintah Prancis yang dianggap menyudutkan masyarakat Islam. (EHRE) 


Referensi

Clark, M. (2020). DRAG THEM: A brief etymology of so-called “cancel culture”. Communication and the Public, 5(3–4), 88–92. https://doi.org/10.1177/2057047320961562 

Xiong, Y., Cho, M., & Boatwright, B. (2019). Hashtag activism and message frames among social movement organizations: Semantic network analysis and thematic analysis of Twitter during the #MeToo movement. Public Relations Review, 45(1), 10–23. https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2018.10.014 

Velasco, J. C. (2020). Millennials as digital natives: Examining the social media activities of the Y- generation. Pertanika Journal of Social Science and Humanities, 28(3). 

Beiner, A. (2020, July 17). Sleeping woke: Cancel culture and simulated religion. Medium. Retrieved from:  https://medium.com/rebel-wisdom/sleeping-woke-cancel-culture-and-simulated-religion-5f96af2cc107  

Bromwich, J. E. (2019, June 28). Everyone is cancelled. The New York Times. Retrieved from: https://www.nytimes.com/2018/06/28/style/is-it-canceled.htm

Posting Komentar