Ilustrasi Cerpen "Bagasi-10 Oktober | Rajinmtsjk"
Sumber: Dok. Pribadi

Mobil berwarna bata membelah ramainya jalan raya jam 8 malam pada tanggal 10 Oktober. Meski dalam keadaan hujan, ia tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rerata kecepatan yang diizinkan dalam kondisi yang sedang terjadi. Ia memegang setir mobil dengan santai dan lihai, ia hanya menggunakan satu tangan sambil berteriak menyanyikan lirik bersahutan dengan lantunan musik dari daftar putar favoritnya dan rintihan samar air hujan di luar. Tepat seperti skenario romantis setelah berpisah untuk beberapa waktu dan kemudian bertemu kembali. 

Aku menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu. Pesona unik dan eksentrik dari gayanya berpakaian dan berpenampilan kembali membuat detak jantung yang seharusnya sudah biasa saja menjadi sama ritmenya seperti saat kali pertama kami bertemu. Tidak jelas dan tidak paham apakah jantungku semangat atau justru ogah-ogahan memompa darah kesekujur tubuhku. Satu hal yang pasti adalah aku masih memiliki perasaan yang sama; perasaan yang kupikir telah hilang sejak kami tidak lagi saling berbicara dengan satu sama lain.

Aku berada di sini. Setelah sekian lama akhirnya aku kembali duduk di kursi penumpang mobil bata ini, di sampingnya, dan hanya ada kami berdua. Bau perpaduan kopi, coklat, dan vanilla yang khas menyeruak memaksa masuk dalam indra penciumanku dan membuatku menyadari seberapa banyak dan dalam diriku merindukannya. Kalau bisa meminta, aku mau detik ini menjadi selamanya.

Kami menghabiskan lebih dari setengah hari ini bersama, dari mulai makan seblak di depan SMA kami dulu sembari menghidupkan memori yang telah usang, bertukar candaan ‘bapak-bapak’ mengenai bagaimana suara ulat di kamarnya, dan detik ini kami berdua menyusuri jalan arteri di malam hari ditambah agenda baru yaitu menghabiskan waktu yang tersisa dengan makan es krim di bagasi sambil membakar juga menghembuskan asap dari lintingan tembakau komersil. 

Aku bahagia, akhirnya setidaknya dia menoleh padaku.

Kami merealisasikan keinginan terakhir kami untuk hari ini yaitu menghabiskan waktu di lot parkir restoran cepat saji dengan sudut pandang jalanan yang ramainya bukan main. Bagasi kami buka dan duduk di sana sambil bercerita lebih banyak tentang apa saja dari hidup kami masing-masing yang berubah sejak pertemuan terakhir kami, hari kelulusan. Atmosfer menghangat dan sekali lagi, aku ingin detik ini abadi menjadi selamanya.

Kuputuskan untuk mengabadikan beberapa momen dalam bentuk foto acak untuk merayakan hari ini. Jika detik ini benar-benar tidak bisa jadi selamanya, maka akan kuabadikan sendiri. Setelah menghabiskan dua batang tembakau juga es krim yang kami makan sisa lelehan yang sudah tidak bisa disendokkan ke dalam mulut, kami memutuskan untuk pulang ke kehidupan masing-masing. Ia mengantarku pulang.

Di jalan, tidak banyak hal yang kami bicarakan, hanya lagu berirama pelan yang memenuhi kubus beroda empat ini. Mungkin itu karena kami ingin menikmati sisa waktu dengan lebih baik, menyadari bahwa kehadiran aku dan dia tidak bisa abadi, jadi harus benar-benar dinikmati baik sunyi maupun ramai.

“Aku rasa, aku mencintainya” 

ia membuka bicara dengan fokus pada jalanan yang tak terpecah, seolah apa yang sudah ia ungkapkan adalah hal remeh. Tapi, bukannya soal perasaan tidak pernah remeh? 

Rasa bahagiaku lenyap seketika.

Dan sekali lagi benar terjadi, tidak akan ada yang namanya selamanya.

Gambar yang kupotret tadi hanya menyisakan luka.

“But I am not your own wish that we could be each other’s home”- Her by Alen Steinn.

Senyumku mulai kehilangan jiwanya, jantungku mungkin sudah jatuh pada tumpukan usus karena aku tidak lagi merasakan detaknya, hujan semakin deras, dinginnya pendingin udara mulai menusuk tulang dan lagu yang terputar justru makin menelanjangi kehadiranku dari suara hatiku pada posisi ini. Aku menghela nafas panjang.

Aku akan kembali pada diriku sendiri.

Karena kamu adalah aktor ulung, menarik-ulur, dan tak ada sedetikpun kenyataan kamu benar melirik padaku.

“You’re a liar 
A danger Frostbite in the winter
You’re never my lover
I’ll go back to her” - Her by Alen Steinn

“Jelaskan tentangnya padaku” 

apa yang kukatakan justru sebaliknya dari apa yang kuinginkan. Aku sangat mandiri dan lihai dalam membunuh juga menggali liang kuburku sendiri.

Ia mulai bercerita tentangnya. Orang itu adalah Kak Wira, salah satu senior yang sangat dihormati dan juga menjadi pembicaraan banyak orang karena kebaikannya. Tentunya Kak Wira memperlakukannya dengan baik, tidak akan ada orang yang bersangka buruk padanya dan Kak Wira. Aku bahagia mengetahui ia bertemu dan merasakan cinta pada orang yang baik. Tapi tentu saja, ada bagian dariku yang tidak terima.

“How could I be so dumb

Been giving you all of my time around?

I want you as a lover

How could you be so numb

To make out in the party that I run?

And now it’s hard to recover

‘Cause I could love you better

But you in love with another

Than him” - Him by Alen Steinn

Aku menutup pagar dan mengutuk diri. Aku mencintaimu, menginginkanmu, kenapa tidak bisa kuucapkan, kenapa kubiarkan kamu mengejar dia dan akhirnya sampai pada titik; aku tidak akan bisa menjadi dirinya, bagimu.

“I thought we’d be together

But I know I could never

Be him”- Him by Alen Steinn

Terima kasih kepada P, A, F, W, sang penulis kedua lagu (Her dan Him) Alen Steinn, juga rasa tidak enak badan dan hati yang berkontribusi banyak pada penulisan cerita ini. Penulis merekomendasikan keping lagu berikut seraya menikmati cerpen di atas: https://open.spotify.com/album/6m490xHEmEZkqLIdvrSKAF?si=aITYlbDmRH6uK3qjxkn-mw&utm_source=copy-link. (006)

Posting Komentar