Ilustrasi Sastra "Waktu Wujudkan Jawabmu".
Sumber: Dok. Pribadi

Kusempatkan melihat jam di pergelangan tanganku, pukul 19.33, telat tiga menit. Kupercepat langkahku menuju toko buku tempat kita berjanji akan bertemu. Setelah dipikir-pikir, ini adalah kali pertama kita bertemu setelah satu tahun, kurang atau lebih.

Pandanganku yang memburuk tidak mencegahku untuk mengenali postur itu dari jauh, kauangkat tanganmu setinggi bahu dan melambai ke arahku. Kerutan dan binar matamu tak mampu menyembunyikan senyum lebar yang dikau simpan di balik masker hitam, memaksaku untuk membalas, bahkan jika saja aku tidak mau.

Kuisyaratkan permintaan maaf dan ajakan masuk ke toko buku. Anggukanmu menandakan persetujuan, berjalan dekat di sampingku tanpa kata, ada tidaknya rasa masih tanda tanya.

"Buku apa yang dikau cari?" tanyanya, kalimat pertama yang ia keluarkan sejauh ini.

"Entahlah," jawabku jujur. "Mari ke sana," ajakku sembari berjalan ke rak buku tak jauh dari kasir.

Rak self-help, akal sehatku kembali, kutertawakan diriku dalam hati, apa yang kulakukan di rak self-help? Aku tidak butuh bantuan siapapun. Apa yang kulakukan di toko buku? Tempat manapun bisa saja. Mengapa aku mengajaknya? Aku bisa mengajak siapa saja.

Rasa gugup berhasil mengaburkan tujuanku. Rak self-help sebenarnya rak yang menyimpan kunci dari kegundahan hati ini. Toko buku kupilih karena tempat itu pikirku cocok untuk orang sepertiku dan dirinya. Aku mengajaknya karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadanya.

Sesuatu itu menjadi beban pikiranku selama sekian tahun, maaf, bukan beban, lebih mirip jika kuanggap sebagai angan. Sesuatu itu membuat beberapa hari terakhir terasa tak nyata. Sesuatu itu membuatku merasakan sensasi yang belum pernah ada sebelumnya. Jantung berdegup kencang, rasa takut? Ya. Bahagia? Ya. Cemas? Juga.

Keramaian toko buku tak membantu, cemas makin membelenggu, sedikit berjalan ke luar menurutku menjadi pilihan yang tepat. Meja bundar tak jauh dari toko buku menjadi pilihan kami, sedikit lebih tenang dan cukup ideal untuk bercakap tentang 'sesuatu' yang kumaksud.

Kuceritakan tentang seorang wanita yang menangkap hatiku selama beberapa tahun terakhir. Wanita itu mengaburkan bayang masa depan bersama wanita lain yang kutemui, setelah maupun sebelum dirinya. Cerita yang kusampaikan dengan sesekali menemui tatapnya, sementara matanya menancapkan pandangnya padaku.

Butuh tiga tahun bertemu hampir setiap hari dan tiga tahun selanjutnya mengaguminya dari jarak bagi diriku untuk mengumpulkan alasan dan keberanian menyampaikan sesuatu itu.

"Dan hari ini kusempatkan keberanian untuk berkumpul dan memberitahunya." Gestur ku memberinya kepastian, dia-lah wanita yang kumaksud.

Senyap melanda, ucapanku menundukkan kepalamu, mendorong dirimu bersandar pada kursi, entah apa yang sebenarnya dikau rasakan saat itu, bagiku masih misteri, yang kutahu senyum tersembunyi itu kembali, lebih lebar dari sebelumnya. Wajahmu memerah, aku tidak tahu wajah manusia bisa semerah itu, kupikir, entah bagaimana dengan wajahku saat memberitahumu.

Perlu dikau ketahui yang kusampaikan bukan pertanyaan, sebatas pernyataan sudah lebih dari cukup untukku, balas tak perlu. Pada akhirnya kita bertanggung jawab atas perasaan masing-masing, dikau tidak ada kewajiban sebagaimana tiap manusia tidak punya hak atas perasaan orang lain padanya.

Tapi dikau tetap menjawab, isinya jawab penuh harap. Menyadarkanku bahwa tidak hanya masa lalu yang dapat menghantui seseorang, masa depan juga bisa bersarang di pikir, dan itu yang terjadi padamu. Kata orang waktu mengobati segala luka, waktu menjadi jawab segala gundah, waktu memastikan segala janji.

Dikau pilih waktu sebagai jawab. Klise, tapi mungkin untuk yang terbaik. Jujur aku saat ini masih jauh dari siap, hanya saja kupikir dikau perlu tahu segala sesuatu yang kusampaikan padamu saat itu dan dikau perlu tahu bahwa ada lelaki yang sanggup menunggu sedikit lagi untuk mewujudkan jawabmu.

Oleh Ahmad Ridha

Posting Komentar