Muh. Riyadh Ma'arif, Mahasiswa FPsi UNM Penulis Opini "Sungguh Malang Nasib Fakultas Psikologi Kampus V UNM yang Dianak-tirikan".
Sumber: Dok. Pribadi

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan”.
 

Makna yang terkandung dalam sumpah tersebut menyiratkan kepada para Mahasiswa dalam menjalankan perannya sebagai insan yang berintelektual, jujur, adil, dan berani sebagai karakter dasar untuk membangun peradaban yang madani. Maka dari itu, segala fenomena yang menimbulkan ketimpangan bagi khalayak perlu diberantas demi mewujudkan kesejahteraan.

Akhir-akhir ini, dapat kita temui bahwa pihak Birokrat Universitas Negeri Makassar sebut saja sebagai oknum, beberapa kali didapati mengeluarkan regulasi-regulasi yang tidak proporsional dengan implementasi yang cacat. Maka dari itu, saya menganggap perlu untuk membuat narasi kritikan yang memuat beragam fakta yang benar adanya, sehingga tujuan praktis pembuatan narasi ini adalah agar segera ditindak lanjuti pengawalanya oleh seluruh civitas akademika UNM yang masih hidup nalar kritis dan nuraninya demi mewujudkan iklim perguruan tinggi yang sesuai dengan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sehingga, setelah narasi ini sampai kepada pembaca, semoga disadarkan bahwa tidak ada kekuatan yang bisa merenggut kesejahteraan kita (mahasiswa) sebagai hak untuk berpikir dan akses fasilitas yang dijanjikan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan berpikir dan berpengetahuan, hal ini lah yang semestinya menjadi sebuah landasan kita untuk bergerak melawan tirani yang mengungkung pengembangan potensi diri kita, terlebih saat ini biaya UKT kian membubung tinggi, orang tua membiayai dengan susah payah, namun anaknya diperlakukan seperti itu di tempat perantauannya untuk menuntut ilmu.

Mahasiswa yang berkuliah di Kampus V Parepare, semenjak tahun 2017 hingga saat ini, telah banyak mengalami diskriminasi hak dan ketidaksetaraan dalam menuntut ilmu. Hal ini ditunjukkan pada besaran UKT yang dibayarkan sebesar Rp. 8.500.000 (UKT tertinggi se-UNM) tidak sebanding dengan fasilitas yang didapatkan. Kondisi terparah dialami pada tahun 2017 – 2021 yang pada saat itu belum memiliki kelas permanen dan sering berebutan kelas dengan mahasiswa prodi lain (di luar FPsi UNM). Meskipun pada tahun ini (2022) telah dibuatkan kelas permanen bagi mereka, terkadang mahasiswa FPsi UNM Kampus V masih digeser oleh mahasiswa prodi lain, hal ini menunjukkan ada yang tidak beres pada distribusi tata ruang kelas bagi mahasiswa yang ada di Kampus V secara keseluruhan.

Kemudian, dalam pelaksanaan proses perkuliahan. Ternyata tidak ada dosen tetap yang dimiliki oleh FPsi Kampus V sehingga dosen utama yang berada di Makassar harus bolak-balik dalam seminggu untuk mengajar di dua tempat yang berbeda dengan jarak tempuh kurang lebih 155 km, hal ini dirasakan pada tahun 2017-2021. Sebagai akibatnya, sering terjadi kerancuan dalam penyampaian materi. Mahasiswa seringkali melakukan perkuliahan dengan waktu yang tidak wajar dan tidak pasti, sebab dalam satu pertemuan, dosen memberikan dua atau tiga muatan materi dalam satu pertemuan sekaligus, dan terkadang waktu libur (Sabtu dan Minggu) digunakan untuk mengejar ketertinggalan materi pada mata kuliah tertentu.

Bukan hanya mahasiswa, beberapa dosen yang ditugaskan untuk mengajar disana mendapatkan perlakuan diskriminatif. Terhitung biaya operasional yang dikeluarkan oleh dosen secara pribadi selama mengajar di Kampus V pada semester sebelumnya tidak digantikan, dengan dalih program tersebut tidak dianggarkan, hal ini patut dipertanyakan, sebab realisasi anggaran yang tidak memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas keuangan berpotensi adanya tindakan korupsi. Maka saya rasa perlu bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) UNM untuk membuka seluas-luasnya realisasi anggaran baik itu dalam bentuk infografis ataupun narasi tertulis dengan inisiatif mandiri, tanpa adanya permohonan masuk. Jika Perguruan Tinggi menolak untuk lebih terbuka perihal informasi ke publik, maka patut dicurigai bahwa ada yang ditutup-tutupi. Untuk itu, melalui UU KIP dengan mekanisme keterbukaan informasi publik, Perguruan Tinggi dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap segala bentuk informasi yang menjadi hak publik.

Dalam menyikapi hal transpransi di Perguruan Tinggi, jika kita mengacu pada instrumen dari UU KIP, maka setidaknya ada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di dalam Perguruan Tinggi. PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). PPID merupakan pejabat administrasi yang wajib ada di setiap badan publik agar dapat menciptakan transparansi yang ideal, selain memberikan informasi, PPID juga harus mempertanggungjawabkan kualitas dan kredibilitas dari informasi yang diberikan. Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas adalah semangat yang dibawa dalam UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 78 dalam UU Pendidikan Tinggi tentang akuntabilitas perguruan tinggi yang menjelaskan salah satu bentuk akuntabilitas dan transparansi yang dimaksudkan adalah Perguruan Tinggi (PT) harus melaporkan kegiatan kampus baik akademik maupun non akademik.

Sebagai dampak dari rentetan penyebab (pelanggaran di atas), kini mahasiswa FPSI Kampus V UNM melaksanakan perkuliahan secara daring dengan fasilitas yang buruk pula, hal tersebut saya dapati berdasarkan aduan yang menyatakan 
“Terkadang suara dari dosen tidak jelas, dan materi yang disampaikan oleh dosen tidak nampak jelas, dikarenakan dosen fokus mengajar pada mahasiswa yang menghadiri kelas secara offline (Mahasiswa FPsi di Kampus Utama)” 
bahkan mereka tidak mendapatkan subsidi kuota untuk menunjang perkuliahan yang diselenggarakan secara daring.

Berdasarkan gambaran realitas proses perkuliahan dan fasilitas yang dirasakan saudara-saudari kita yang berada di Kampus V UNM, saya rasa ada upaya licik dan kotor yang mengungkung kesejahteraan menuntut ilmu bagi saudara-saudari kita di sana. Motif pernyataan saya ialah bahwa segala keburukan yang terjadi, pasti asalnya dari keburukan sendiri, sebab bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi jika fungsi dan tugas dijalankan dengan baik oleh birokrat? Kecuali, pada dasarnya ada unsur kesengajaan untuk melakukan kejahatan terstruktur hingga terjadilah hal seperti itu. Berdasarkan gambaran realitas proses perkuliahan yang dialami saudara-saudara kita yang berada di Kampus V UNM jika dihubungkan dengan beberapa aturan yang terlampir di bawah ini mengindikasikan adanya kekeliruan dalam pelaksanaan aturan sebagaimana dipedomani dalam UU, Peraturan Menteri, dan Surat Intruksi LLDIKTI, antara lain:

Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal-pasal berikut:
1) Pasal 31 (3) berbunyi “Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi”;
2) Pasal 34 (1) berbunyi: “Program Studi diselenggarakan di kampus utama Perguruan Tinggi dan/atau dapat diselenggarakan di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan Tinggi setempat”;
3) Pasal 41 ayat 1 dan 3 berbunyi: “(1) Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi wajib disediakan, difasilitasi, atau dimiliki oleh Perguruan Tinggi sesuai dengan Program Studi yang dikembangkan. (3) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan Mahasiswa”;
4) Pasal 73 ayat 4 dan 5 berbunyi: “(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya”. (5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial;
5) Kemudian dilanjut pada aturan turunan. Peraturan Mendikbud Nomor 3 tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pada pasal-pasal berikut:
(1) Pasal 3 ayat 1 tentang Tujuan Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yang berbunyi:
a) Menjamin tercapainya tujuan Pendidikan Tinggi yang berperan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan;
b) Menjamin agar Pembelajaran pada Program Studi, penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
c) Mendorong agar Perguruan Tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu Pembelajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan.
6) Pasal 33 yang berbunyi: “Standar sarana dan prasarana pembelajaran merupakan kriteria minimal tentang sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan isi dan proses Pembelajaran dalam rangka pemenuhan capaian pembelajaran lulusan”.
7) Pasal 34 (1) yang berbunyi: “Standar sarana Pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 paling sedikit terdiri atas: a. perabot; b. peralatan pendidikan; c. media pendidikan; d. buku, buku elektronik, dan repositori; e. sarana teknologi informasi dan komunikasi; f. instrumentasi eksperimen; g. sarana olahraga; h. sarana berkesenian; i. sarana fasilitas umum; j. bahan habis pakai; dan k. sarana pemeliharaan, keselamatan, dan keamanan”.
8) Pasal 34 (2) yang berbunyi: Jumlah, jenis, dan spesifikasi sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan rasio penggunaan sarana sesuai dengan karakteristik metode dan bentuk pembelajaran, serta harus menjamin terselenggaranya proses Pembelajaran dan pelayanan administrasi akademik.

Selanjutnya pada Peraturan Mendikbud Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta, pada pasal-pasal berikut:
a. Pasal 32 (2) poin f tentang sarana dan prasarana yang harus dipenuhi dalam pembentukan PSDKU, yaitu:
1) Ruang kuliah paling sedikit 1 (satu) m2 (meter persegi) per Mahasiswa;
2) Ruang Dosen tetap paling sedikit 4 (empat) m2 (meter persegi) per orang;
3) Ruang administrasi dan kantor paling sedikit 4 (empat) m2 (meter persegi) per orang;
4) Ruang perpustakaan paling sedikit 200 (dua ratus) m2 (meter persegi), termasuk ruang baca yang harus dikembangkan sesuai dengan pertambahan jumlah Mahasiswa;
5) Buku paling sedikit 200 (dua ratus) judul per PSDKU sesuai dengan bidang ilmu dan teknologi dari PSDKU tersebut;
6) Memiliki koleksi atau akses paling sedikit 1 (satu) jurnal dengan volume lengkap untuk setiap PSDKU;
7) Ruang laboratorium, komputer, dan sarana praktikum dan/atau penelitian sesuai dengan kebutuhan setiap PSDKU;
8) kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
9) b. Pasal 34 (1) yang berbunyi: Penutupan PSDKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dilakukan dengan alasan:
1) PSDKU dinyatakan tidak terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dan/atau Lembaga Akreditasi Mandiri;
2) PSDKU tidak lagi memenuhi persyaratan pembukaan PSDKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32;
3) Penyelenggaraan PSDKU telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) Terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dan/atau peraturan perundang-undangan tentang PSDKU; dan/atau
5) Usul perguruan tinggi penyelenggara PSDKU.
10) c. Pasal 34 (2) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud:
1) Pada ayat (1) huruf a, huruf d, atau huruf e, Menteri mencabut izin pembukaan PSDKU tersebut; dan
2) Pada ayat (1) huruf b dan/atau huruf c, Menteri mencabut izin pembukaan PSDKU tersebut, setelah direktur jenderal terkait sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi dan verifikasi.

Kemudian untuk mempertegas aturan di atas telah diterbitkan himbauan pada surat keputusan Nomor Surat: 7812/WS.00.05/LL9/2021, Tanggal: 8 September 2021 oleh LLDIKTI Wilayah IX yang berisikan 7 poin tentang solusi dari aspirasi masyarakat terkait beberapa perguruan tinggi yang menyelenggarakan kelas jauh dengan dalih Program Studi Diluar Kampus Utama (PSDKU) dan Kelas Pengembangan (KP), yaitu:
1) Berdasarkan Pasal 71 poin (h) Peraturan Mendikbud Nomor 7 Tahun 2020, Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) tanpa izin dari Menteri dapat dikenai sanksi administratif berat.
2) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan PJJ dalam bentuk mata kuliah berdasarkan izin pemimpin perguruan tinggi setelah memperoleh pertimbangan senat. Mata kuliah yang dapat diselenggarakan dengan PJJ bentuk mata kuliah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari jumlah mata kuliah dan/atau beban studi dalam kurikulum Program Studi. Lebih dari 50% (lima puluh persen) wajib memiliki izin Menteri.
3) Penyelenggaraan PJJ selama pandemi Covid-19 menyesuaikan dengan kebijakan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
4) Perguruan Tinggi dilarang untuk menyelenggarakan kelas jauh atau Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU), yaitu Program Studi yang diselenggarakan di kabupaten/kota yang tidak berbatasan langsung dengan lokasi Kampus Utama, tanpa izin dari Menteri.
5) Perguruan tinggi yang menyelenggarakan Program Studi di kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan lokasi Kampus Utama (Kelas Pengembangan), harus membangun sarana dan prasarana untuk proses pembelajaran yang minimal sama kualitasnya dengan Kampus Utama. Pembukaan Kelas Pengembangan tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari LLDIKTI Wilayah IX Sultan Batara. Rekomendasi akan diberikan oleh LLDIKTI Wialyah IX Sultan Batara setelah dilakukan proses evaluasi kesiapan sarana dan prasarana, termasuk evaluasi standar Learning Management System (LMS) untuk mendukung proses pembelajaran secara daring.
6) PTS yang melakukan PSDKU dan atau KP tanpa izin Menteri atau LLDIKTI, mohon segera membuat laporan ke Kementerian dan/atau LLDIKTI.
7) LLDIKTI Wilayah IX Sultan Batara akan melakukan Binwasdal terhadap PTS yang masih terindikasi melakukan PSDKU dan/atau KP, baik yang dilaporkan masyarakat maupun indikasi lain dari sumber yang terpercaya.

Berdasarkan aturan yang terlampir di atas, saya secara pribadi tidak ingin menutup pemikiran teman-teman agar menganalisa secara mandiri antara keterkaitan realitas yang telah digambarkan dan kandungan aturan yang dipedomani, baik itu terlampir maupun tidak terlampir dalam tulisan ini, sehingga penulis dengan sengaja tidak mengaitkan secara spesifik antara keterkaitan pada aturan terlampir. Perlu Kembali saya tegaskan kepada teman-teman sekalian, saya meminta tolong terkait status dari Kampus V itu sendiri, apakah ia berdiri sebagai PSDKU atau sebagai apa?
Jangan biarkan kesalahan ini menjadi kebiasaan, restorasi harus dilakukan segera, agar di kampus yang kita cintai ini terhindar dari segala bentuk upaya pemerasan. Jangan biarkan dosa ini terus berlanjut, agar tidak semakin banyak memakan korban!

Semoga tulisan ini mampu membangkitan semangat bagi teman-teman yang masih sehat mental dan masih hidup nalar kritisnya. Sebagai penutup dari narasi ini, saya mengutip pernyataan salah seorang tokoh yang berasal dari kampung halaman saya, yang bunyinya seperti ini:

“Banyak yang salah jalan, tapi merasa tenang, karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian!” – Prof. Bachruddin Lopa (Mantan Jaksa Agung RI Periode 2001).

Oleh Muh. Riyadh Ma'arif, Mahasiswa FPsi UNM

Posting Komentar